Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Investasi yang menjanjikan hasil menggiurkan membuat sebagian orang berbondong-bondong ikut mengadopsi cryptocurrency sebagai salah satu instrumen investasi masa depan.
Berkembangnya adopsi crypto tak hanya mencuri perhatian masyarakat dunia bahkan tren ini suskses mengundang kehadiran investor baru asal Indonesia untuk berkecimpung di bisnis tersebut.
Namun sayang, tingginya minat adopsi crypto di kalangan investor Indonesia tak di barengi dengan adanya pengetahuan yang luas akan industri tersebut. Terlebih investasi ini memiliki risiko yang cukup tinggi dibanding investasi lainnya.
Baca juga: Fear of Missing Out atau FOMO Tak Selalu Buruk, Bisa Bikin Cuan dalam Bisnis
Tingginya antusias investor Indonesia akan adopsi crypto bahkan sukses menembus hingga angka 11,2 juta orang hanya dalam kurun waktu satu bulan.
Praktisi bisnis Prof Rhenald Kasali, menyebut jumlah investor baru ini umumnya didominasi oleh generasi milenial usia 18 sampai 29 tahun.
Dengan memanfaatkan misleading information atau ketidak benaran informasi serta iming-iming keuntungan yang fantastis, para pelaku kejahatan crypto akan menjebak para investor baru untuk menjalankan strategi pump and dumb.
Dalam akun Youtube Prof Rhenald menjelaskan, praktik pump and dumb umumnya dilakukan pelaku kejahatan crypto dengan menciptakan Fear of Missing Out atau FOMO untuk mendokrak popularitas serta harga koin yang tidak diketahui asal usulnya.
Melansir dari situs Coin Culture, FOMO merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan perasaan ingin selalu menang dan tidak ingin tertinggal oleh yang lain.
Bahkan dampak yang ditimbulkan dari FOMO mampu membuat seseorang rela menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang cenderung tidak penting.
“Sama seperti Anda ikut TikTok, Instagram, atau Anda membeli sesuatu yang tidak Anda butuhkan tetapi kiri-kanan Anda membeli dan Anda ikut-ikutan membeli,” jelas Rhenald.
Para milenial ini, akan membeli suatu aset hanya karena mengikuti tren agar tak dianggap cupu oleh lingkungannya.
Munculnya tekanan sosial tersebut lantas membuat investor baru yang didominasi milenial tergiur untuk terjun dalam bisnis tersebut tanpa memperhitungkan risiko yang akan dihadapi.
“Di kalangan kaum generasi muda ini, jika mereka tidak mengikuti tren ini maka dianggap cupu, dan akan di-bully sehingga mereka yang awalnya tidak bermain kripto, daripada di-bully lebih baik mereka bermain seperti teman-teman lainnya,” tambah Rhenald.
Baca juga: Investasi Kripto Jangan karena Sindrom FOMO, Pelajari Risikonya
Karena kurangnya latarbelakang edukasi akan industri crypto, membuat investor ini tak sadar jika mereka masuk kedalam praktik pump and dumb.
Kelengahan inilah yang kemudian dimanfatkan pelaku kejahatan untuk mendulang untung yang lebih besar.
Prof. Rhenald menambah, peran otoritas negara untuk menumpas praktik manipulasi yang diciptakan oleh pelaku market unregulated sangat dibutuhkan.
Dengan memperketat pengawasan, hingga memberikan edukasi khusus untuk masyarakat sebelum terjun ke dunia crypto, cara ini dianggap mampu meminimalisir bertambahnya korban FOMO di industri cryptocurrency.
Pelajari Risikonya
Masih banyak investor yang memulai investasi aset kripto hanya akibat fear of missing out atau FOMO.
Co-Founder dan CEO Value Magz Aliyah Natasya yang juga merupakan certified financial planner menjelaskan bahwa setiap investasi pasti memiliki risiko.
“Paling penting untuk menyesuaikan investasi dengan profil risiko masing - masing dan hindari penggunaan uang pinjaman dalam melakukan investasi,” kata Aliyah, Jumat (18/7/2021).
Baca juga: Apa Itu FOMO? Tanpa Disadari Sering Dialami Anak Muda Zaman Now, lho!
Menurutnya, tipikal investor generasi muda banyak yang belum memahami setiap profil aset yang dipilih.
“Kebanyakan dari mereka ingin mendapatkan keuntungan dalam waktu yang cepat,” urainya.
Selain itu, keinginan untuk memiliki passive income disamping pekerjaan tetap jadi alasan investor memilih investasi aset kripto.
CMO Tokocrypto Nanda Ivens menilai pertumbuhan investor saat ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan awareness terkait ekosistem aset kripto di Indonesia.
Telebih ada banyak investor muda yang juga bergabung.
“Momen ini menjadi peluang tapi juga tantangan bagi Tokocrypto untuk terus berkomitmen memberikan pengalaman transaksi yang aman dan nyaman untuk para investor. Juga memperkuat edukasi terkait ekosistem aset kripto kepada masyarakat.” ujar Nanda.
Pedagang aset kripto yang pertama teregulasi Bappebti ini juga menjalin kerjasama dengan layanan pembayaran digital GoPay.
Melalui kemitraan ini, investor yang ingin bertransaksi di Tokocrypto bisa melakukan deposit dana dengan lebih mudah, praktis, dan cepat melalui GoPay.
“Kerjasama ini merupakan salah satu bentuk komitmen kami menghadirkan pengalaman deposit dana yang lebih praktis bagi investor melalui GoPay,” tukasnya.
Baca juga: FOMO (Fear of Missing Out) Bisa Bikin Stres, Mengapa?
Bisa Bikin Cuan dalam Bisnis
Fear of Missing Out atau FOMO adalah sindrom yang membuat seseorang takut ketinggalan tren yang sedang dibicarakan masyarakat saat ini.
FOMO membuat seseorang selalu ingin up-to-date, bahkan tak jarang bisa membahayakan psikologi dirinya sendiri.
Singkatnya, FOMO adalah sebuah fenomena psikologis di mana kita takut ketinggalan terhadap hal-hal yang sedang populer.
Rupanya, FOMO juga bisa kita temui dalam lingkup e-commerce yang dapat memengaruhi interaksi, pemikiran, pendekatan kerja, pengambilan keputusan, dan pembelian, melansir Segmentify.
FOMO sering digunakan sebagai strategi marketing yang dapat menarik orang untuk melakukan pembelian produk kita.
Dengan memanfaatkan 'ketakutan' seseorang terhadap risiko ketinggalan trend, sebagai pengusaha atau pemilik bisnis kita bisa meraih cuan.
Yuk, cari tahu bagaimana FOMO bisa kita terapkan dalam bisnis!
Apa yang dilakukan pemasaran FOMO?
Dalam E-commerce, FOMO digunakan secara aktif karena urgensi dan prospek kehilangan sesuatu memiliki dampak besar dalam membentuk keputusan orang.
Misalnya pembelian impulsif yang dilakukan karena adanya promo besar-besaran atau promo tiap bulan karena seseorang takut kehilangan kesempatan itu.
Bisa juga dengan promosi di mana akan habis pada hari itu juga jika kamu tidak membelinya sekarang.
Nah takut ketinggalan promosi inilah disebut dengan pemasaran FOMO.
Terlebih lagi, kampanye promosi viral membantu menerapkan FOMO di antara konsumen yang membuat orang mempertimbangkan peluang atau membeli produk.