Apa kami harus mengangkut sawit dengan menggunakan dokar. Bisa mampus kami,” katanya.
Soal kecelakaan, Kacuk mengatakan itu tidak selalu disebabkan karena beban muatan, tapi karena kondisi kelaikan kendaraannya juga.
“Kalau kondisi kendaraannya buruk, mau bebannya ringan potensi kecelakaannya juga tinggi. Malah dengan kebijakan Zero ODOL nanti, saya perkirakan malah akan semakin banyak terjadi kecelakaan.
Itu karena, akan semakin banyaknya kendaraan yang melintas di jalan. Karena makin banyak, tentunya potensi kecelakaannya juga akan makin tinggi. Belum lagi kemacetan di jalan juga akan makin tinggi,” tuturnya.
Secara ekonomi, kebijakan Zero ODOL ini juga akan menyebabkan ongkos angkut barang menjadi naik karena jumlah beban berkurang untuk setiap trip pengangkutan atau untuk jumlah beban yang sama membutuhkan lebih banyak trip pengangkutan.
Selain itu, perusahaan juga harus menambah investasi untuk membeli atau menyewa truk lebih banyak. Tidak hanya itu, dengan adanya penambahan truk maka beban kepegawaian juga menjadi bertambah.
“Kami perkirakan, berdasarkan kondisi di Sumatera Utara yang infrastrukturnya sudah lebih bagus, kemungkinan akan ada penambahan ongkos angkutan untuk komoditi sawit baik hulu maupun hilirnya sekitar Rp 100-120 triliun per tahun,” tutur Kacuk.
Ini tentunya juga akan menyebabkan terjadinya pengurangan nilai tambah bersih dari sawit dan turunannya sebesar Rp 110-120 triliun.
“Yang menanggung kerugian itu bukan hanya perusahaan, tapi juga petaninya. Beban ongkos angkut yang naik itu pasti juga akan ditanggung oleh petani sawit.
Tidak itu saja, jika harga CPO juga akan kita naikkan untuk menutup tambahan ongkos angkut, yang jelas-jelas itu akan membuat harga CPO kita menjadi tidak atau kurang kompetitif lagi dibanding negara-negara lain,” katanya.
Tapi jika kebijakan Zero ODOL ini tetap dipaksakan pemerintah, Kacuk mengatakan industri mau tidak mau akan mengikutinya.
“Langkah kami berikutnya untuk mengurangi ongkos angkut adalah akan menggunakan truk-truk yang lebih besar muatannya lebih banyak, sehingga ongkos per kilogramnya bisa lebih murah.
Tapi kami berharap pemerintah juga harus mendukung infrastruktur jalannya untuk dilewati truk-truk besar ini nantinya,” ujarnya.
Dalam hal ini, pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang mungkin akan terganggu dengan kehadiran banyaknya truk-truk besar yang akan lewat di jalan-jalan depan rumah mereka.
“Karena kebanyakan masyarakat di pedesaan posisi rumah-rumah mereka kan begitu buka pintu dan keluar rumah, sudah berhadapan sama jalan. Apakah biaya sosial ini juga akan dipikirkan Pemerintah?” ucapnya.