TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat advokasi rakyat di Karawang, Jawa Barat berharap pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) serta jajarannya dapat mengetahui persoalan riil di lapangan, dan lebih memperlihatkan sikap pro terhadap rakyat kecil. Hal ini juga terkait aksi pencabutan, tepatnya 'legalisasi perampasan' hak rakyat atas tanah di Teluk Jambe Karawang.
Mereka mengambil posisi membela kepentingan rakyat, para petani pemilik dan penggarap tanah yang tergusur raksasa properti Agung Podomoro Land (APL) melalui anak usahanya PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).
Demikian dikatakan Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Valens Daki-Soo yang telah lama mengasisteni Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Wakil KSAD dan pernah menjadi Ketua Umum Pejuang Siliwangi Indonesia.
Valens menilai karena kekuatan uang dan akses yang kuat di kalangan elite, pihak kapitalis pemilik bisnis properti dapat menggusur rakyat kecil dalam kasus sengketa tanah di Teluk Jambe Karawang.
"Perjuangan para petani kecil ini sudah dibantu dan didukung para politisi dari beberapa partai yang peduli pada nasib dan masa depan mereka. Sebutlah Eva Kusuma Sundari, Rieke Dyah Pitaloka dan Rahardi Zakaria dari PDI Perjuangan. Begitu juga Ade Komaruddin dan Dadang S. Mochtar dari Golkar, begitu pula H. Daulay dari Partai Demokrat," kata Valens Daki-Soo dalam keterangannya, Minggu (31/8/2014).
Ia pun mengklaim tergerak hati untuk ikut membantu karena sejumlah petani yang mejadi korban seperti H. Dodo, H. Minda dan H. Amandus Djuang serta beberapa aktivis seperti Yono dari Serikat Petani Karawang (Sepetak) berkali-kali menemuinya dan mengisahkan problematika tanah 350 hektar tersebut yang telah 23 tahun menjadi masalah kronis.
"Eksekusi selalu tertunda karena masalahnya amat kompleks dan para petani terus melakukan perlawanan, meski akhirnya eksekusi paksa itu dilakukan 24 Juni 2014 dengan mengerahkan tujuh ribuan personel Polri," ujarnya.
Menurutnya, tindakan tersebut sangat ironis, lantaran eksekusi itu dilakukan secara paksa. Padahal putusan tersebut secara yuridis-formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena tidak jelas obyek sengketa dengan batas-batas tanah mana yang harus dieksekusi.
"Eksekusi itu dilakukan pada momentum kampanye Pilpres sehingga nyaris sama sekali luput dari perhatian publik dan sorotan media massa nasional. Juga, ribuan personel Polri c.q. Polda Jabar dan Brimob disertai Baracuda dan water canon dikerahkan menghadapi rakyat yang hanya segelintir di lapangan," ujarnya.
Selain itu, dinilainnya Karawang sejak dulu adalah lumbung beras nasional. Karena itu menurutnya, tergusurnya para petani penggarap lahan seluas itu oleh pengusaha properti besar niscaya menggerus tanah pertanian rakyat dan digantikan oleh proyek yang hanya menguntungkan kapitalis.
"Pemerintahan Presiden Jokowi ditantang untuk memberantas tindakan seperti ini yang mengambil untung di atas penderitaan rakyat," kata tokoh muda asal Flores yang lama aktif di Dewan Pengurus Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) itu.
Pengacara yang mengadvokasi para korban itu menegaskan pembangunan daerah yang dilakukan dengan mencabut hak-hak rakyat atas tanah bukanlah tindakan yang mensejahterakan rakyat tetapi justru menyengsarakan mereka.
Pasalnya, itu bukan tindakan demi kepentingan umum melainkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok bisnis yang menghalalkan segala cara.
"Hal ini tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dilawan," ujarnya.
Menurut Badeoda yang didampingi Yono dan beberapa aktivis Serikat Petani Karawang (Sepetak), terdapat beberapa perkara kepemilikan tanah antara SAMP – subsidiary dari Agung Podomoro Land - dengan masyarakat di atas lahan seluas 350 ha di Kecamatan Teluk Jambe Barat Karawang.
Dia mengatakan, putusan unexecutable bukan dinyatakan oleh mafia tanah tetapi dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Karawang sejak tahun 2011. Pelaksanaan eksekusi baru dilakukan secara paksa dengan bantuan ribuan aparat Polda dan Brimob ketika Marsudi Nainggolan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Karawang yang baru, yang samasekali tidak memahami konteks persoalan dan kasus yang ada.
"Proses pelaksanaan eksekusi pun tidak dilakukan secara benar bahkan merupakan tindakan melawan hukum karena putusan dibacakan tanpa menunjuk batas-batas tanah yang jelas tetapi langsung dipatok oleh aparatur kepolisian di atas tanah rakyat yang tidak terlibat dalam perkara yang ada. Tentu saja ini adalah tindakan pencabutan hak-hak rakyat secara paksa oleh pengadilan dan aparatur penegak hukum" imbuhnya.
Edwin Firdaus