Catatan Wartawan Tribunnews.com: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah senyum merekah dari bibir beliau, senyum yang penuh dengan ketulusan dan keikhlasan tergambar sangat jelas dari raut wajah yang jernih dan seketika mampu membuat hati kami tenteram untuk berada di samping beliau.
Itu adalah kesan pertama yang kami rasakan, Tim Etifaq (tim penulisan buku sejarah Trimurti) ketika pertama kali berjumpa dengan KH Rusydi Bey Fananie di Pondok Modern Gontor Putri, Mantingan, Ngawi pada 26 Februari 2016 tahun lalu.
Kami bersilaturrahmi menemui KH Rusydi Bey Fananie dengan tujuan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi dari sumber terpercaya tentang sosok salah satu Trimurti (Pendiri Pondok Modern Gontor) yakni, KH Zaenudin Fananie.
Dengan bantuan Ustadz Fairuz Subakir, KH Rusydi Bey Fananie, duduk di atas kursi roda. Kami yang datang berjumlah 11 orang dari alumni Gontor angkatan tahun 2000 duduk di atas lantai mengambil posisi mengelilingi beliau layaknya santri-santri Gontor yang sedang muwajjah dengan ustadznya.
Raut wajah KH Rusydi Bey Fananie saat itu terlihat jelas sangat riang gembira ketika kami memulai proses wawancara dengan materi pertanyaan-pertanyaan seputar perjalanan hidup ayahanda beliau, KH Zaenudin Fananie.
Kami mendapatkan jawaban-jawaban yang disampaikan dengan penuh semangat. Setiap untaian kalimat yang beliau sampaikan kepada kami sangat mencerahkan dan penuh energi positif meski objek bahasan kami tentang sejarah masa lalu yang sangat jauh dari era kami saat ini.
KH Rusydi Bey Fananie membawa kami memasuki lorong-lorong waktu rentan peristiwa yang terjadi semasa ayahanda beliau masih hidup, dimana saat itu KH Rusydi Bey Fananie menjalani masa anak-anak hingga tumbuh menjadi
remaja dewasa, mulai dari era penjajahan, era perjuangan kemerdekaan, Indonesia merdeka hingga setelah Indonesia merdeka.
Almarhum KH Rusydi Bey Fananie foto bersama anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Lahir di Palembang 12 Februari 1936, KH Rusydi Bey Fananie, turut merasakan getirnya hidup di masa penjajahan Belanda. Aktivitas ayahanda beliau, KH Zaenuddin Fananie, sebagai seorang aktivis pejuang kemerdekaan
Indonesia, tokoh Muhammadiyah, birokrat dan cendekiawan Muslim banyak mewarnai masa-masa kecil Rusydi Bey Fananie.
Penamaan Rusydi Bey Fananie yang diberikan sang Ayahanda juga mengandung pesan yang sangat kuat ketika Rusydi Bey Fananie lahir. Jauh hari sebelum Rusydi Bey terlahir di dunia, sang Ayahanda bersama dua tokoh besar Muhammadiyah kala itu, Haji Abdul Malik Amrullah (Hamka) dan Malik Siddiq, ternyata memiliki nadzar yang sama akan memberi anak masing-masing dengan nama Rusydi.
Keakraban Zaenuddin Fananie, Hamka dan Malik Siddiq ini cukup melegenda. Ketiganya sama-sama belajar di Muhammadiyah Yogyakarta dan mendapat tugas dari Muhammadiyah untuk menjadi konsul Muhammadiyah di daratan Sumatera. Zaenuddin Fananie menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan, Hamka di Sumatera Barat dan Malik Siddiq di Sumatera Utara.
Ketiga tokoh ini kala itu sangat mengidolakan seorang ulama besar Ibnu Rusyd yang masyhur dengan kitab Fiqhnya, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Inilah kitab Fiqh yang moderat dengan pembahasan luas menguraikan pandangan dari berbagai versi madzhab imam-imam fiqh. Kitab ini pula yang hingga saat ini masih menjadi rujukan kurikulum santri Pondok Modern Gontor.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis pergerakan, KH Zaenuddin Fananie menjalani kehidupan yang keras. Berpindah-pindah tempat tinggal baik karena tugas dinas dari Muhammadiyah maupun menjalankan tugas dinas dari Pemerintahan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang kala itu belum stabil karena usia negara yang masih seumur jagung.
KH Zaenudin Fananie yang kala itu memiliki putra semata wayang Rusydi Bey Fananie juga tak luput dari buruan para penjajah. Masa kecil Rusydi Bey Fananie bisa dikatakan dihadapi dengan penuh kesulitan imbas dari ketokohan sang Ayahanda.