Jika dilihat dari persfektif makro, dalam mengidentifikasi faktor penyebab ataupun mencari akar persoalan diperlukan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai fenomena disintegrasi dan integrasi sosial dalam konteks budaya.
Nah, dalam perspektif makro fenomena disintegrasi dari segi budaya dapat diidentifikasi dari beberapa faktor, yakni faktor historis (masa lalu) dan kontemporer (kekinian).
Baca juga: Apa Itu Sistem Kekerabatan? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya
Baca juga: Apa Itu Pemakzulan yang Kini Menimpa Donald Trump? Begini Mekanisme di Indonesia Menurut UUD 1945
1. Faktor Historis (masa lalu)
Faktor historis berasal dari tindakan pengambil kebijakan orde lalu di tingkat nasional mengenai berbagai masalah ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya yang berlangsung dalam kurun waktu lebih kurang 32 tahun (1966-1998).
Dalam kurun waktu tersebut sistem politik dan pemerintahan relatif bersifat otoriter dan sentralistik.
Dengan sistem tersebut, otonomi dan keberdayaan masyarakat tidak berkembang, pemberontakan muncul secara terselubung dan penyelesaian masalah dilakukan dengan pendekatan yang lebih refresif.
Akibatnya muncul ketidakpatuhan, pembangkangan secara terbuka, demonstrasi, kekerasan dan indikasi negatif lainnya yang berakumulasi secara terus menerus hingga mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998 ketika rezim Soeharto jatuh.
2. Faktor Kontemporer (kekinian)
Faktor kontemporer juga berkaitan dengan faktor kesejarahan, sistem otoriter dan sentralistik yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan ekonomi, politik, hukum hingga pada praktek indoktrinasi pikiran masyarakat berakibat pada kondisi masyarakat yang sangat rawan saat ini untuk membangun integrasi masyarakat.
Di bidang Ekonomi misalnya menyangkut sistem ekonomi yang diterapkan secara kapitalistik, yang mengedepankan modal dan uang ketimbang harkat kemanusiaan melahirkan manusia Indonesia yang materialistik, individualistik dan konsumtif.
Sementara itu, di masyarakat terjadi ketimpangan dan kecemburuan ekonomi yang sangat mencolok sehingga tidak kondusif bagi berkembangnya integrasi.
Di bidang politik dan pembangunan, sejak dua dasa warsa perjalanan pembangunan di Indonesia tampak peran pemerintah yang sangat dominan.
Masyarakat hanya menjadi obyek ketimbang subyek dari proses politik dan pembangunan tersebut.
Akibat dari tekanan politik yang berlebihan dari orde lalu, yang terjadi sekarang masyarakat ingin diakui eksistensinya sehingga terjadinya "supremasi masyarakat" dan mencoba menggusur "supremasi pemerintah" sebagai mekanisme pertahanan diri atau dapat disebut juga sebagai pemberontakan dan "balas dendam" masyarakat terhadap situasi ketertekanan yang dialami pada masa lalu.