Namun, lanjutnya, kesadaran dibangun melalui proses dialog memberikan pengetahuan, memberikan kebebasan memutuskan dan orang dewasa di sekitar anak memberikan contoh (role model).
Kelima, kata dia, anak perempuan seharusnya diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang dikenakan.
Ketentuan dalam SKB 3 Menteri tersebut, kata Retno, secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
"Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," kata Retno.
Keenam, kata Retno, SKB 3 Menteri tersebut sudah sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di mana ketentuan SKB menjamin bahwa Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Artinya, lanjut dia, peserta didik maupun pendidik yang sudah mengenakan jilbab karena kesadaran dan keinginannya sendiri dapat menggunakan jilbab.
"Bagi yang belum siap mengenakan atau tidak bersedia mengenakan jilbab juga diperbolehkan," kata dia.
Ketujuh, lanjut Retno, ketentuan SKB 3 Menteri yang tidak mewajibkan dan tidak melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama sejalan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” sebagaimana diamanatkan dalam Kovensi Hak Anak (KHA).
Menurut KPAI, kebijakan tersebut akan sangat berdampak positif bagi tumbuh kembang anak, terutama anak-anak perempuan, baik secara fisik maupun mental.
Berdasarkan hasil pengawasan KPAI terhadap anak-anak korban, kata Retno menunjukkan ada beberapa kasus yang menunjukan anak-anak perempuan mengalami bullying dalam bentuk kekerasan verbal dan kekerasan psikis karena tidak menggunakan jilbab.
Contohnya, kata dia, kasus seorang siswi di SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah yang mengalami pembullyan oleh kakak kelasnya lantaran tak berjilbab, baik kekerasan verbal secara langsung maupun cyber bully melalui media social.
"Korban akhirnya memilih pindah sekolah, karena mengalami trauma," kata Retno.
Selain itu, KPAI juga memcatat ada puluhan kasus anak perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental dan mendapatkan dukungan pemulihan dari psikolog Jabar Masagi di mana anak-anak perempuan tersebut menjadi tidak percaya diri, bahkan depresi dan hendak melakukan percobaan bunuh diri.
Puluhan anak-anak tersebut, kata Retno, juga mengalami pembullyan dari lingkungannya akibat tidak berjilbab, bahkan menjadi cemas karena ada ancaman bahwa kalau dia tidak berjilbab akan menyeret ayahnya dan saudara laki-lakinya ke neraka.