Kemudian, namanya dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan Belanda melalui perang Pattimura.
Sejak abada ke 17 dan 18 berlangsung banyak perlawanan bersenjata melawan Belanda VOC.
Hal itu dikarenakan terjadi praktik pendindasan kolonialisme Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan sebagainya.
Penindasan tersebut dirasakan dalam semua sisi kehidupan rakyat, baik segi sosial ekonomi, politis, dan segi sosial psikologis.
Selama 200 tahun rakyat Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan.
Rakyat Maluku memproduksi cengkeh dan pala untuk pasar dunia.
Namun, mayoritas masyarakat tidak ada keuntungan dari sisi ekonomi yang dirasakan.
Rakyat Maluku tidak mendapat keuntungan tetapi justru semakin menderita dengan adanya berbagai kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantien) dan contingenten;
Serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.
Pada masa kedua pendudukan Inggris di Maluku pada tahun 1810-1817 harus berakhir pada tanggal 25 Maret 1817 setelah Belanda menguasai wilayah Maluku.
Rakyat Maluku menolak kedatangan Belanda dengan membuat "Proklamasi Haria" dan "Keberatan Hatawano".
Proklamasi Haria disusun oleh Pattimura.
Ketika pemerintah Belanda mulai memaksakan kekuasannya melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Bergh, terjadi perlawanan bersenjata rakyat Maluku.
Selanjutnya, diadakan musyawarah dan konsolidasi kekuatan yang mana pada forum-forum tersebut menyetujui Pattimura sebagai kapten besar yang memimpin perjuangan.