News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Profil Soe Hok Gie, Aktivis dan Demonstran Indonesia yang Lantang Menentang Orde Lama dan Orde Baru

Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Soe Hok Gie - Berikut ini profil Soe Hok Gie & kronologi kematian di Gunung Semeru, aktivis dan demonstran Indonesia yang lantang menentang Orde Lama dan Orde Baru.

TRIBUNNEWS.COM - Nama Soe Hok Gie tidak asing di telinga para demonstran tanah air.

Ia adalah sosok mahasiswa yang menyuarakan keadilan melalui berbagai aksi semasa hidupnya.

Soe Hok Gie merupakan mahasiswa Universitas Indonesia angkatan 1961.

Pemuda keturunan Tionghoa-Indonesia ini lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta.

Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan.

Salam Sutrawan adalah seorang penulis redaktur surat kabar dan majalah.

Ayah Soe Hok Gie merupakan sastrawan dan wartawan pada zaman Pergerakan Nasional dan Jepang.

Dalam buku Catatan Seorang Demonstran (1983), Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara di keluarganya.

Ia memiliki kakak kandung bernama Arief Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, yang juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia.

Sejak kecil, Soe Hok Gie sering membaca berbagai buku, karena lingkungannya merupakan keluarga yang dekat dengan buku-buku dan tulis menulis.

Hal tersebut membentuk kepribadian Soe Hok Gie yang gemar berpikir kritis dan pemberani.

Baca juga: Profil Herman Lantang, Tokoh Pendiri Mapala UI dan Sahabat Soe Hok Gie

Awal Mula Soe Hok Gie sebagai Aktivis

Soe Hok Gie (Dokumentasi Mapala UI)

Pada 1961 ia menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah.

Soe Hok Gie saat itu berkenalan dengan Zakse, seorang kakak tingkat dari jurusan Sejarah.

Zakse adalah orang pertama yang mengajak Soe Hok Gie berkenalan dengan teman-temannya yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos).

Gemsos adalah organisasi bawah tanah para mahasiswa sebagai wadah berdiskusi dan berpikir kritis.

Saat itu Soe Hok Gie tertarik mengikuti Gemsos pada akhir 1961, karena mereka memiliki pemikiran yang sama, yaitu sering mengkritik pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Soekarno.

Soe Hok Gie kian aktif dalam organisasi Gemsos.

Kemudian, ia mengusung temannya, Herman Lantang, untuk menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (SM FS-UI) pada 1964.

Herman terpilih sebagai Ketua SM FS-UI untuk periode 1964-1966.

Sedangkan Soe Hok Gie sebagai Pembantu Staff SM FS-UI.

Melihat banyaknya organisasi politik mahasiswa di kampus, Soe Hok Gie berinisiatif untuk membentuk MAPALA UI, yang mewadahi mahasiswa netral. 

Baca juga: Gerwani dan Stigma Negatif Organisasi Perempuan Indonesia, Sering Dihubungkan dengan G30S 1965

Peran Soe Hok Gie dalam dunia Demonstran

Peran Soe Hok Gie dalam dunia demonstran adalah saat koneksinya meluas.

Gemsos saat itu berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan militer, untuk meruntuhkan Orde Lama.

Keadaan politik Indonesia saat itu sedang rumit.

Soe Hok Gie berpendapat sistem Demokrasi Terpimpin tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan diktator.

Ia dan teman-temannya sering turun ke jalan untuk melancarkan protes pada pemerintah.

Puncaknya yaitu setelah tragedi G30S pada 1965.

Pada 1966, demo besar-besaran dilakukan oleh para mahasiswa karena harga naik bus dari Rp 200 menjadi Rp 1000.

Soe Hok Gie berpendapat hal itu adalah pengalihan isu kemanusiaan G30S menjadi isu ekonomi.

Protes mahasiswa menghasilkan keputusan pembubaran PKI dan lengsernya Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto.

Soe Hok Gie menjadi Ketua SM FS-UI periode 1967-1968.

Pada 1 Januari 1969, Soe Hok Gie kembali turun ke jalan untuk protes kenaikan harga barang dan transportasi.

Rombongan demonstran bergerak menuju Sekretariat Negara yang berada di sebelah Istana Presiden.

Para mahasiswa menuntut untuk bertemu Chairul Shaleh yang dianggap sebagai dalang dibalik kenaikan harga.

Mereka juga mengkritik pemerintah dan kalangan menteri yang foya-foya sementara rakyat kelaparan.

Selain itu, praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sedang marak terjadi di kalangan pemerintah.

Soe Hok Gie dan teman-temannya juga mengkritik pemerintah Orde Baru yang otoriter dan melarang rakyat mengutarakan pendapat.

Sayangnya, semangat dan aksi Soe Hok Gie yang membara berakhir pada 1969.

Kematian Soe Hok Gie tepat satu hari sebelum hari ulang tahunnya pada 17 Desember 1969.

Semasa hidupnya, Soe Hok Gie rajin menulis catatan sejak tahun 1957.

"Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian," tulis Soe Hok Gie dalam buku catatannya, setelah menghadiri pemakaman seorang kawannya yang meninggal.

Kalimat tersebut ditulis sebelum pendakian gunung Semeru.

Catatannya berakhir pada 8 Desember 1969, yaitu seminggu sebelum ia meninggal dan sembilan hari sebelum ulangtahunnya yang ke-27.

Sebelumnya, Soe berencana merayakan ulangtahunnya yang ke-27 di Gunung Semeru.

Baca juga: Mengenal 7 Pahlawan Revolusi Korban Pengkhianatan Gerakan 30 September, Berikut Sejarah Singkat G30S

Kronologi Tragedi Kematian Soe Hok Gie

Seorang pendaki menjejakkan kakinya di Puncak Mahameru, Gunung Semeru. (Surya/Eko Darmoko)

Perjuangan Soe Hok Gie terus berlanjut, hingga ia merasa kian penat dengan situasi yang terjadi di Indonesia.

Dikutip dari laman ASTACALA, Universitas Telkom, pendakian dilakukan saat sore hari dengan gerimis dan kabut tebal.

Pada Desember 1969, Soe Hok Gie bersama teman-temannya mendaki gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa.

Kelompok pendakian tersebut adalah Soe Hok Gie, Rudy Badil, Idhan Lubis, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.

Saat di puncak, teman Soe yang bernama Rudy terpaksa turun bersama Maman karena fisik mereka tidak kuat.

Rudy dan Maman menuruni Gunung Semeru sambil menutup hidung karena bau belerang sangat menusuk paru-paru.

Saat itu, Soe Hok Gie sedang duduk dengan kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering.

Sebelumnya, Tides dan Wiwiek telah turun terlebih dahulu.

Saat hendak menuruni Gunung Semeru, Rudy dan Maman juga berpapasan dengan Herman dan Idhan.

Total orang yang masih berada di puncak adalah Soe Hok Gie, Freddy, Herman, dan Idhan.

Mereka yang sudah sampai di tenda, menunggu Soe, Herman, Freddy, dan Idhan.

Namun, saat itu hanya Freddy yang tiba di tenda perkemahan.

Baca juga: BREAKING NEWS: Kakak Soe Hok Gie, Sosiolog Arief Budiman Meninggal Dunia, Dimakamkan di Salatiga

Freddy mengabarkan Soe dan Idhan kecelakaan, namun tidak menjelaskan secara detail keadaan mereka.

Tak lama kemudian, Herman juga turun.

Dia melapor pada teman-temannya jika Soe dan Idhan sudah tak sadarkan diri.

Tides mengatur penyelamatan. Ia turun gunung bersama Wiwiek menuju tepian (danau) Ranu Pane untuk mencari bantuan.

Sedangkan teman-teman yang masih berada di tenda menjaga Maman yang syok karena panik dan tergelincir ke jurang kecil.

Keesokan harinya, pada 17 Desember 1969, teman-teman yang tersisa memeriksa puncak Gunung Semeru.

Mengetahui Soe dan Idhan sudah tiada, mereka terpaksa menunggu bantuan dari Tides yang sebelumnya turun gunung.

Mereka yang tersisa di perkemahan terpaksa tidak makan selama tiga hari dan menunggu surat dari Tides, yang menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Rudy akhirnya turun gunung untuk mengantar surat balasan pada Tides.

Pada  22 Desember 1969, seluruh rombongan berkumpul di Malang, bersama jenazah Soe dan Idhan.

Sementara itu, Maman dirawat di RS Claket.

(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

Artikel lain terkait Soe Hok Gie

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini