Saat itu, fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan.
Selain itu, tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa juga mempengaruhi Bahasa Sunda.
Tingkatan bahasa itu digunakan untuk membedakan cara komunikasi dengan orang berdasarkan penghormatan tertentu.
Penggunaan tingkatan bahasa mengakibatkan adanya stratifikasi sosial secara nyata.
Meski demikian, Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan dan bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda.
Di kalangan masyarakat kecil Sunda, terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya.
Bahasa Sunda masih digunakan, terutama untuk menuliskan karya sastera Wawacan dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19, Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastra.
Baca juga: Mengenal Batik Pedalaman atau Klasik dan Batik Pesisir, Berbeda Cara Pembuatan dan Motifnya
4. Pengaruh Bahasa Belanda
Pada akhir abad ke 19 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata dan ejaan menulis dengan aksara Latin.
Penggunaan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Contohnya, pada kata "Bupati" ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda.
Selain itu, kosakata Bahasa Belanda semakin masuk dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
5. Pengaruh Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia
Bahasa lain yang memengaruhi Bahasa Sunda adalah Bahasa Melayu, yang merupakan bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat.
Kemudian pengaruh lain juga datang setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan pada 1928.
Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, tentang adanya Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Pada era 1950-an, keluhan tersebut semakin keras, karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia, terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta dan bahkan Bandung.
Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka.
Meski demikian, tetap ada kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya, terutama untuk Suku Sunda dan Jawa Barat.
Lingkungan yang demikian dapat memengaruhi etnis lain yang menetap di tanah Sunda, yang kemudian juga berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya.
Sehingga, keberadaan Bahasa Sunda akan terus berlanjut.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Bahasa Sunda