Di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur. Di sana, tinggal sepasang suami istri. Mereka bekerja sebagai petani.
Menjelang musim panen, Si suami berkata kepada istrinya.
“Jika nanti hasil panen kita melimpah, buatlah tumpeng nasi yang besar. Kemudian, undanglah tetangga untuk makan bersama.” Istrinya pun setuju.
Kedua suami istri itupun berharap panen mereka melimpah.
Tak lama kemudian, harapan mereka terkabul. Si Istri menyiapkan tumpeng nasi dan mengundang seluruh penduduk desa untuk makan bersama.
Menjelang musim panen berikutnya, Si suami berkata lagi kepada istrinya “Semoga panen kita lebih banyak lagi, kalau bisa tiga kali lipat dari sebelumnya. Jika harapanku terkabul, buatkanlah tiga tumpeng nasi yang lebih besar dari sebelumnya.”
Kemudian, Si Istri membuat tiga tumpeng dan mengundang seluruh penduduk desa untuk berpesta kembali.
Beberapa hari kemudian, Si suami pergi ke sawah. Dalam perjalanan, ia melihat seonggok tanah yang berbentuk seperti catu.
Catu adalah alat penakar nasi yang terbuat dari tempurung kelapa.
“Hmmm, aneh sekali. Sepertinya kemarin gundukan tanah ini tidak ada,” gumam Si suami.
Setelah pulang dari ladang, ia bercerita kepada istrinya. Kemudian, ia mengajukan usul kepada istrinya.
“Istriku, bagaimana kalau kita membuat beberapa catu nasi? Siapa tahu, kalau kita membuatnya, hasil panen kita akan semakin melimpah.”
Sejak saat itu, Si istri rajin membuat catu nasi. Setiap catu nasi yang dibuatnya, ia niatkan untuk menambah hasil panennya.
Namun, ada keanehan yang terjadi. Saat pergi ke sawah, onggokan tanah yang ia temukan sebelumnya semakin membesar. Rupanya, setiap Si istri membuat catu nasi, saat itu pula onggokan tanah membesar.