Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Baca juga: Sejarah Berdirinya Boedi Oetomo sebagai Organisasi Tonggak Kebangkitan Nasional
Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”;
Artinya “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.
Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa.
Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
Berdasarkan contoh perlawanan sebelum abad ke-19 tersebut, dapat disimpulkan ciri-cirinya, mengutip dari buku sejarah kelas 11 Kurikulum Merdeka.
Ciri-ciri Perlawanan Sebelum Abad ke-19
-Bersifat kedaerahan
- Menggunakan senjata tradisional
- Dipelopori oleh orang-orang yang dianggap berpengaruh
- Bersifat sporadis
- Tujuannya bukan untuk memerdekakan Indonesia
- Menggunakan perlawanan fisik
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)