Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bahasa isyarat perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia karena sejauh ini belum ada kebijakan yang mendukung penuh keberadaan bahasa isyarat di tanah air.
Hal ini diungkapkan oleh Co-Founder FeminisThemis Nissi Taruli Felicia dalam Media Gathering dan Kick-off “FeminisThemis Academy”: FeminisThemis dan Unilever.
"Kalau kita lihat situasinya, kebijakan di Indonesia, khususnya yang mendukung bahasa isyarat 100 persen itu belum ada.
Karena saya sebetulnya harapan besar itu di kurikulum atau pendidikan Indonesia, bahasa isyarat bisa dimasukkan," ungkapnya di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Menurutnya, ketidakadaan bahasa isyarat di dalam kurikulum membuat masyarakat yang bisa mendengar kaget atau bingung ketika bertemu dengan teman tuli.
Ketidakadaan bahasa isyarat di dalam silabus pendidikan bahasa Indonesia juga menimbulkan ketidaktahuan.
Baca juga: Relawan Penyandang Tuli dan Anies Siap Berjuang agar Bahasa Isyarat Setara dengan Bahasa Indonesia
Bahkan bisa berujung pada tindakan olok-olok atau bullying.
"Pendidikan dipisahkan dengan orang-orang dengar, itu menyebabkan semua itu terjadi sampai hari ini. Saya harapkan bisa lebih digabung," imbuhnya.
Pemerintah sebenarnya telah mempunyai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dirasa belum maksimal.
Baca juga: 10 Momen Menarik saat Debat Terakhir Capres: Anies Pakai Bahasa Isyarat, Ganjar Kuliahi Prabowo
"Jadi kita harus cek dulu, undang-undangnya implementasinya bagaimana. Kata-kata bisa indah tapi praktiknya bisa jadi nol. Jadi kita tahu implementasinya seperti apa," tambah Nissi.
Apa lagi saat ini pemerintah masih belum meresmikan bahasa isyarat itu sebagai bahasa resmi di Indonesia.
"Kalau pemerintah benar-benar punya niat menjadikan bahasa isyarat Indonesia sebagai yang resmi, saya pikir bisa berdampak positif ke depannya," pungkasnya.