”Dari dulu, aku sudah bercita-cita ingin menikah dengan orang Batak asli dari kampung supaya identitas sebagai orang Batak nggak hilang.
Memang bahasa Batak yang kami pakai sekarang masih kategori pasif, tetapi asal sama-sama dipahami,” katanya.
Sementara sutradara film Nia Dinata malah mengenal bahasa Jawa dari putra bungsunya, Gibran Papadimitriou (18).
Sebagai keturunan Sunda-Minang, Nia paham kedua bahasa daerah itu, tetapi tidak demikian dengan bahasa Jawa.
”Darah Jawa saya cuma seperempat, dari nenek buyut saya yang asli Yogyakarta,” ujarnya sambil tertawa.
Gibran lahir dan besar di Jakarta. Ayahnya keturunan Yunani Indonesia.
Gibran kecil rupanya tertarik dengan dunia wayang. Dia belajar mendalang pada usia 11 tahun dan kini menjadi dalang. Dia fasih berbahasa Jawa kromo atau halus.
Nia menuturkan, di rumah, anaknya sering berbahasa Jawa halus, baik untuk meminta maupun mengekspresikan sesuatu. Sekarang, Gibran tengah kuliah di Yogyakarta.
”Kami tidak melarang, bahkan mendukung dia. Dari menunggui Gibran belajar mendalang, saya jadi tahu ada bahasa Jawa kromo, Jawa ngoko.
Tetapi kalau dia sudah ngomong bahasa Jawa kromo, saya minta, tolong dong, terjemahkan,” kata Nia.
Metafora
Di mata Hartati, seniman tari dari Minang, banyak metafora yang berharga dalam bahasa ibunya sehingga dia sebisa mungkin mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya.
Metafora berbahasa Minang ”raso jo pareso” kerap disampaikan di tengah keluarga.
Metafora itu menanamkan cara berinteraksi dengan orang lain, yakni tahu dan menghargai lawan bicara dengan tidak menyinggung perasaannya.