Hartati mengungkapkan metafora lain, ”lawak di awak katuju dek urang”.
”Ini ajaran toleransi, betapa kita harus menimbang kata dan tindakan agar tidak berbuat salah dan menyinggung perasaan orang lain,” ujar Hartati.
Di tengah aneka etnik di Jakarta, berbahasa ibu juga menyejukkan perasaan Beiby Sumanti, seniman musik tradisional Minahasa dan aktivis sosial asal Tondano, Sulawesi Utara.
Ia merantau ke Jakarta sejak 1979 dan selalu menggunakan bahasa ibunya untuk berkomunikasi sehari-hari.
Tahun 1989, Beiby mendirikan Sanggar Bapontar, sanggar musik kolintang.
”Sejak awal kami berkomitmen bersama untuk selalu menggunakan bahasa Manado. Ada perasaan kedekatan sebagai keluarga.
Bagi sesama perantauan, bahasa Manado jadi obat homesick atau rindu kampung halaman,” ucapnya.
Beiby membuat kaos dengan tulisan bahasa Manado ”kita bukang kaki gatal maar suka bapontar” untuk souvenir dan mendapatkan tanggapan bagus dari rekan-rekannya.
Tulisan itu bermakna ’kaki kita (saya) bukan gatal, tetapi senang jalan-jalan’.
”Ini bermakna tentang kesukaan merantau atau menjelajah ke luar Manado,” imbuh Beiby.
Banyak studi telah menunjukkan manfaat bagi seseorang yang menguasai bahasa ibunya.
Tak heran, sejak tahun 1953, UNESCO pun mendorong pendidikan awal untuk anak-anak menggunakan bahasa ibu.
Untuk mengetahui informasi lebih lanjut, kunjungi laman https://buku.kemdikbud.go.id/s/ bahasaibu-dirindu atau pindai kode QR di samping.
Ayo, Menganalisis
1. Berdasarkan berita di atas, apa saja tantangan melestarikan bahasa ibu atau daerah bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan?