TRIBUNNEWS.COM- Setelah menjadi negara nomor satu di FIFA selama lebih dari tiga tahun berturut-turut, dan mengalahkan Brasil pada perempatfinal di Piala Dunia terakhir, pasukan Belgia datang ke Qatar dengan penuh tanda tanya.
Gelaran Piala Dunia 2022 ini menjadi kesempatan terakhir skuat Belgia asuhan Roberto Martinez untuk membuktikan diri bahwa mereka memang pantas diharapkan sebagai generasi emas.
Empat tahun lalu, timnas Belgia begitu menjanjikan.
Mereka lolos penyisihan grup dengan meyakinkan, dan menyingkirkan Jepang, dan Brasil untuk mencapai semifinal dan akhirnya finis di tempat ketiga.
Itulah hasil terbaik mereka sepanjang sejarah di Piala Dunia.
Pencapaian tersebut merupakan puncak dari revolusi Belgia dalam pengembangan pemain muda menyusul tersingkirnya babak penyisihan grup dari Euro 2000 di kandang sendiri.
Martinez fokus pada pengembangan bakat individu, dan bermain dalam formasi 4-3-3.
Eden Hazard, dan Kevin De Bruyne mempelopori tim yang memancarkan kepercayaan diri dan kecemerlangan.
Namun, kesuksesan 2018 ternyata menjadi patokan tertinggi, yang sejauh ini sulit diulangi kembali.
Kekecewaan demi kekecewaan datang ketika Belgia tersingkir dari Euro 2020 di perempat final, dan kemudian berjuang untuk tampil mengesankan di Final Four Nations League beberapa bulan kemudian.
Setelah enam tahun, kesabaran publik Belgia perlahan habis terhadap "generasi emas" ini.
Seiring waktu, personel mereka pun mulai tergerus satu persatu.
Vincent Kompany telah gantung sepatu. Thomas Vermaelen juga, dengan mantan bek Arsenal itu kini menjadi salah satu asisten manajer.
Ketika Belgia melawan Wales dan Belanda di Nations League pada bulan September, tiga pemain belakang mereka berisi tiga pemain dari liga domestik, Belgian Jupiler Pro League --hal yang sangat jarang terjadi.