TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap diam Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini atas berbagai sindiran atau bahkan fitnah yang menghujamnya justru yang membuat simpati publik atasnya menguat.
Demikian disampaikan pengamat politik Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Senin (12/11/2018).
"Cara beliau menjawab seluruh sindiran, nyinyiran dan bahkan fitnah dengan fokus melaksanakan tugasnya justru jauh lebih efektif membuat elektabilitasnya naik," ujar Ray Rangkuti.
Untuk itu dia menyarankan agar calon presiden nomor urut 01 itu tidak ikut sibuk dengan urusan ungkapan yang sekalipun tepat, tapi istilah-istilah yang dipakai akan potensial jadi perdebatan, seperti terbaru politik genderuwo.
"Pada masyarakat yang literasinya masih berkutat pada simbol, kulit dan permukaan, pesan dari simbol tersebut justru terlupakan," jelas Ray Rangkuti.
Baca: Via Vallen Ogah Klarifikasi Langsung Soal Cover Lagu SID, Jerinx: Saya Minta Maaf? Never
Karena ungkapan politikus atau politik genderuwo ini kembali hanya akan menimbulkan kebisingan dan saling sindir antar kontestan Pilpres 2019.
Apalagi sebelumnya, baru saja suasana kebisingan dan saling sindir reda terkait "tampang Boyolali," yang diungkapkan Prabowo Subianto.
"Setelah sebelumnya ungkapan wajah Boyolali yang menghebohkan, dan bahkan masih terasa perdebatannya sampai sekarang, justru istilah politikus genderuwo muncul. Akhirnya, publik kita hanya ribut soal ungkapan yang sebenarnya tidak perlu," ujar Ray Rangkuti.
Baca: Penyerang Polsek Penjaringan Bakal Diperiksa Ahli Kejiwaan
Bila hal ini terus terjadi, menurut Ray Rangkuti, wajah kampanye kita hanya seperti bertarung mengungkapkan ungkapan yang saling menyindir. Belum masuk ke soal-soal substantif.
Dia menegaskan, pengungkapan istilah seperti ini, tak menguntungkan kepada kedua belah pihak. Aroma negatifnya yang justru besar.
Baca: TERPOPULER- Sebut Maia Estianty Tolak Bangun Rumah Berdempetan di Cisarua, Ahmad Dhani: Menghina Itu
Oleh karena itu, tak lelah-lelahnya Ray Rangkuti mendorong agar kedua pasangan capres dan timnya kembali ke cara berkampanye substantif. Yakni imbuhnya, memperdebatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat publik.
"Mengungkapkan tentang hal yang berhubungan dengan masa depan Indonesia, khususnya lima tahun ke depan. Ruang politik kita sudah terlalu banyak diisi oleh kampanye nyinyirisme. Kita perlu kembali ke kampanye substantif," tegasnya.
Presiden Jokowi saat melakukan kunjungan di Kabupaten Tegal, Jumat (9/11/2018), sempat menyindir politikus yang doyan menyebar propaganda dan ketakutan kepada masyarakat di tahun politik ini.
Ia menyebutnya sebagai politikus gerenduwo (genderuwo).
"Ya politikus gerenduwo itu yang melakukan cara- cara berpolitik dengan propaganda. Menakut- nakuti dan menimbulkan kekhawatiran di masyarakat," kata Jokowi.