Konten baru akan disebar di platform berlogo burung tersebut.
Sementara platform Instagram, pengguna adalah anak muda dan kekuatan hashtag (#) memiliki pengaruh signifikan.
Tetapi, buzzer memiliki kesulitan sendiri menyebar info melalui IG, karena harus memakai Meme yang disertakan.
"Kalau Facebook kan tidak. Hampir semua masyarakat menengah ke bawah punya Facebook, penyebaran bisa lebih luas dan narasinya bisa lebih lengkap. Jadi, lebih efektif," ungkapnya.
Ada juga Tim Cyber 300 yang dikomandoi Donny. Tim ini justru lebih memilih untuk melakukan penetrasi di grup chatting WhatsApp (WAG).
Menurutnya, hal itu akan lebih personal dibandingkan dengan di media sosial mana pun.
Dia juga menganalisis, durasi orang membuka WhatsApp akan jauh lebih sering ketimbang membuka media sosial yang lain.
Ia tidak memungkiri, masih akan tetap berperang di media sosial guna menyampaikan data dan fakta untuk menangkis serangan dari kubu lain.
"Kalau kami main di WAG ya. Bisa langsung banyak orang yang bisa baca. Kalau untuk menangkis serangan, ya tetap di medsos. Hampir semua media sosial kita pakai kok," katanya.
Rama--bukan nama sebenarnya--koordinator buzzer untuk satu partai politik, mengatakan kegiatannya sebagai buzzer yang dilakukannya sejak dulu tidak sepenuhnya mengarah ke Pilpres.
"Instruksi dari atas, enggak mau kami terlalu fokus ke Pilpres. Kami serang rezim, kami angkat citra partai, menangkan partai di Pileg," kata Rama.
Dengan rekam jejak seperti itu, Rama kemudian dipercaya pimpinan yang mewakili pimpinan parpol untuk mengepalai 20 hingga 25 orang buzzer untuk mengunggah konten medsos buatannya sendiri.
Dia mebeberkan cara main atau strategi yang digunakan timnnya dalam mengolah bahan di medsos.
"Buzzer-buzzer di ... (menyebut nama parpol--Red) itu menurut saya memang mainnya sporadis ya. Maksudnya kalau ada yang bisa diolah ya kami olah, seperti tarik-tarikan begitu. Kalau ada waktu senggang satu-dua jam di mana pun ya kami pakai untuk sebarkan konten. Kami serang lawan, begitu juga sebaliknya," kata Rama.