"ISTRI saya marah terus, kalau saya pegang ponsel kelamaan."
Demikian celetukan Pri saat berbincang dengan Tribun Network di sebuah cafe di daerah Jakarta Pusat, pekan lalu.
Pria berusia 32 tahun itu merasa sudah cukup menjadi seorang Buzzer sejak 2012 dan berhenti pada Pilkada 2018 lalu.
"Kalau sehari bisa dihitung 26 jam, saya kerja segitu lamanya. Bahkan, kalau ada isu besar yang harus dinetralkan, bisa tidak tidur hanya untuk pantau media sosial," katanya.
Pri beralasan istrinya melontarkan kekesalan berulang kali karena matanya tidak bisa jauh dari ponsel.
Bahkan, tidak ada jam kerja yang jelas saat itu dan dia diminta untuk menjadi koordinator beberapa buzzer media sosial lainnya.
Hampir tidak ada waktu luang berkualitas bersama keluarganya saat kampanye berlangsung.
Ia sempat menyadari hal itu, namun tidak banyak yang bisa dilakukan.
Kontrak menjadi buzzer selama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 berlangsung sudah diterimanya.
Berpikir tentang pasangan calon dan cara memproduksi konten yang dapat menaikkan elektabilitas.
"Mau tidak mau, akhirnya keluarga tidak terurus," ungkap Pri.
Sembari menyeruput kopi hitam di hadapannya, Pri mengaku selama bekerja sebagai buzzer media sosial, dia sempat mendapatkan satu unit motor sebagai bayaran di Pilkada Jakarta 2017 oleh tim pemenangan.
Motor tersebut yang hingga kini masih dipakainya untuk operasional sehari-hari.
"Saya tidak minta uang waktu itu. Saya minta motor saja langsung untuk jadi buzzer selama kampanye Jakarta," katanya.
Baca: Menelusuri Buzzer Hoaks Pilpres Bergaji Rp 100 Juta, Donatur pun Bersedia Sumbang Dana Rp 2 Miliar