Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - “Indonesia Maju” versus “Indonesia Menang”: siapa juara?
Itulah pertanyaan yang menggelayut di benak publik terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
“Indonesia Maju” adalah slogan atau “tagline” Tim Kampanye Nasional (TKN) dengan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Maruf Amin (01), sedangkan “Indonesia Menang” adalah slogan kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) dengan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (02).
Pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi juara atau pemenang Pilpres 2019 terus menggelayut karena hingga debat kandidat putaran pertama (17 Januari 2019), yang mempertemukan kedua pasang capres-cawapres, dan putaran kedua (17 Februari 2019), yang mempertemukan kedua capres, belum jelas kandidat mana yang diprediksi akan menang telak.
Debat putaran ketiga, kali ini hanya menghadirkan cawapres, akan digelar pada 27 Februari 2019, dengan mempertemukan KH Maruf Amin versus Sandiaga Uno.
Mengapa pertanyaan itu terus menggelayut?
Pertama, dalam survei berbagai lembaga, elektabilitas Jokowi-Maruf trend-nya terus menurun.
Sebaliknya, trend Prabowo-Sandi terus menanjak, sehingga selisih keduanya hanya satu digit. Bagi Jokowi selaku petahana, hal ini sangat mengkhawatirkan. Kalaupun Jokowi kembali menang, selisihnya sangat tipis sebagaimana pada Pilpres 2014.
Ini rawan gugatan, sehingga legitimasi pilpres pun akan dipertanyakan.
Kedua, berkaca dari Pilkada DKI Jakarta 2017, elektabilitas yang tinggi dalam survei tidak menjadi jaminan kandidat akan menang. Buktinya, calon gubernur-wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dikalahkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang elektabilitasnya dalam survei jauh tertinggal.
Mengapa ini terjadi? Berbagai lembaga survei menyimpulkan karena Anies-Sandi mengusung isu agama. Kini, ketika isu agama diusung Prabowo-Sandi, dikhawatirkan Jokowi-Maruf pun akan kalah.
Perang Hoaks
Bila kita cermati jalannya debat, tak berlebihan bila dikatakan terjadi perang hoaks alias data bohong, baik dari Jokowi ataupun Prabowo. Soal impor jagung, misalnya, data yang disampaikan Jokowi sedikit berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Prabowo menyebut Jawa Tengah lebih luas dari Malaysia, padahal sebaliknya.Data BPS, luas wilayah Jateng tahun 2017 adalah 32.544,12 kilometer persegi, sedangkan data Bank Dunia atau World Bank, luas Malaysia adalah 328.550 km persegi.