"Kalau dalam konteks hukum enggak apa-apa," jawab Mahfud MD.
"Artinya begini, kalau misalnya dia menolak proses rekapitulasi, tidak mau menandatangani padahal sudah sidang dibuka secara sah dan diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat lalu dia tidak mau tetap tidak mau menerima ya, pemilu selesai secara hukum."
"Dan KPU bisa mengesahkan itu pada tanggal 22 Mei."
Sementara pemilu selesai, kubu Prabowo bisa mengunggat ke MK sampai dengan tiga hari setelah ditetapkannya pemenang Pilpres.
"Tanggal 22 Mei kalau tidak menggugat ke MK sampai dengan tanggal 25, maka pemilihan presiden secara hukum secara yuridis sudah selesai tidak ada masalah."
Namun, jika sampai tanggal yang ditentukan tersebut Prabowo-Sandi tak memberikan gugatan, maka secara yuridis pemilu telah selesai.
"Tetapi memang secara politik ada problem, orang merasa tidak terima terhadap hasil pemilu tetapi tidak mau menunjukkan bukti-buktinya, tidak mau adu data, itu kan tidak fair juga ya," tambah Mahfud.
"Seharusnya kalau memang tidak mau, atau tidak menerima kecurangannya di mana tunjukkan saja lalu adu data di KPU, kalau tidak puas di KPU adu lagi ke MK."
Mahfud lalu bercerita jika Prabowo-Sandi dan BPN mau menggugat ke MK, ada kemungkinan perubahan suara.
Dikarenakan MK juga bisa mengubah suara yang telah ditetapkan oleh KPU sebelumnya.
Bahkan, ada kemungkinan pemenang lain di luar ketetapan KPU.
Hal ini disampaikan Mahfud karena dirinya pernah memenangkan calon kepala daerah yang sebelumnya dianggap kalah oleh penghitungan suara.
"Di MK itu bisa lo mengubah suara, saya waktu jadi ketua MK sering sekali mengubah suara anggota DPR."
"Kemudian kepala daerah, gubernur, bupati, itu yang kalah jadi menang, bisa suaranya berubah susunannya, ranking satu dua tiga menjadi yang nomor 3, nomor satu dan sebagainya."
"Itu sering sekali dilakukan asal bisa membuktikan."
"Dan yang penting kalau di dalam hukum itu kan kebenaran materiilnya bisa ditunjukkan di persidangan, nah oleh sebab itu yang kita harapkan fair lah didalam berdemokrasi."
Baca: Kubu Prabowo-Sandi Tuding Situng KPU Salah, Yunarto Wijaya Harapkan Ada Bukti Data yang Boombastis
7. Arsul Sani
Wakil Ketua TKN Joko Widodo-Maruf Amin, Arsul Sani memberikan tanggapan terkait penolakan hasil Pemilu 2019 oleh Prabowo.
Selain menolak hasil Pemilu 2019, Prabowo Subianto juga tak akan menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Arsul Sani menyayangkan hal tersebut.
Menurutnya, Prabowo akan dikenang sebagai capres yang tak taat aturan jika sampai benar-benar melakukan hal tersebut, mengutip laman TribunWow.com.
"Sayang sekali kalau yang disampaikan Gerindra tersebut akan menjadi sikap Pak Prabowo," kata Arsul melalui pesan singkat, Rabu (15/5/2019).
"Beliau akan dikenang dalam sejarah politik Indonesia sebagai seorang capres yang tidak taat aturan karena memilih jalur di luar hukum ketimbang jalur hukum yang dibuat bersama, termasuk oleh partainya, Gerindra, dan tiga parpol koalisinya melalui fraksi mereka di DPR," imbuh dia.
Arsul menilai, Gerindra dan partai pengusung pasangan nomor urut 02 lainnya harusnya mendorong agar Prabowo-Sandi mau menempuh jalur hukum bila merasa dicurangi.
Yaitu, dengan mengajukan gugatan ke MK.
Menurut Arsul, citra Prabowo sebagai seorang yang nasionalis dan patriotik akan tercoreng jika benar tak mau menempuh jalur hukum.
"Seharusnya Gerindra dan partai koalisi 02 mendorong Pak Prabowo untuk berada pada jalur hukum berdasar Undang-Undang Pemilu, agar sosok nasionalis dan patriotis sejati Pak Prabowo terjaga," papar Arsul.
"Sangat disayangkan sekali lagi kalau yang berada pada lingkungan terdekat beliau malah memberikan input yang menjauhkan dari sosok dasar Pak Prabowo di atas," lanjut dia.
(TribunPalu.com/Rizki A. Tiara)
Artikel ini telah tayang di Tribunpalu.com dengan judul Tanggapan 7 Politikus hingga Rohaniawan Terkait Prabowo yang Menolak Hasil Pemilu 2019.