Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah merampungkan rekapitulasi nasional hasil penghitungan suara Pemilu 2019 untuk Provinsi Sulawesi Selatan.
Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno unggul setelah meraih 2.809.393 suara dibandingkan pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin yang mengumpulkan 2.117.591 suara.
Baca: Di Sulawesi Selatan, Perolehan Suara Prabowo-Sandiaga Unggul dari Jokowi-Maruf
Namun, saksi dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak menandatangani hasil tersebut.
Hal ini diutarakan pada rapat pleno rekapitulasi nasional hasil penghitungan suara Pemilu 2019 untuk Provinsi Sulawesi Selatan di kantor KPU RI, Minggu (19/5/2019).
Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, menghormati keputusan dari BPN Prabowo-Sandiaga tersebut.
"Kami menghormati. Seperti yang sudah, kami tetap menghormati," kata Wahyu di kantor KPU RI, Minggu (19/5/2019).
Aziz Subekti, selaku saksi BPN Prabowo-Sandiaga mengungkapkan alasan mengapa tidak menandatangani hasil pilpres.
Dia meragukan sistem rekapitulasi penghitungan suara di Provinsi Sulawesi Selatan.
Hal ini, karena rekapitulasi itu berlangsung alot.
"Mungkin ada yang bisa menjelaskan kepada kami bagaimana rekap itu berbelit-belit dan alot. Kalau rekap itu dijalankan dengan baik, mestinya tidak alot," kata dia.
Selain itu, dia menyoroti, penggunaan formulir C-6 atau undangan pemilih.
Dia mencontohkan, pihak PDI Perjuangan mengungkap mengenai penggunaan C-6 yang tidak berhak di provinsi tersebut.
"Walaupun bukan paslon yang mengungkap, namun, itu bisa menjadi mencemari pemberian suara kepada paslon capres. Kedua, C-6 perantau yang tidak ada digunakan pihak tertentu untuk mencoblos di TPS. Ini terjadi di Toraja Utara," ungkapnya.