Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial) Al Araf menilai gerakan massa pada 22 Mei merupakan gerakan yang gagal.
Menurut Al Araf, gerakan itu tak memenuhi syarat tertentu yakni krisis ekonomi di masyarakat.
"Ya suatu upaya yang gagal karena membaca kondisi objektif tidak utuh, ada satu syarat yang enggak terpenuhi yakni krisis ekonomi," kata Al Araf dalam diskusi bertajuk 'Menguak Dalang Makar 22 Mei' di Kantor DPP PSI, Jalan Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2019).
Al Araf mengatakan, kondisi krisis pada tahun 1998, masyarakat terlibat langsung dalam provokasi karena dilakukan secara sitematis dan masif.
Baca: Respons Cholil Nafis Sikapi Isu Namanya Akan Tempati Posisi Menteri Agama
Namun, peristiwa 22 Mei, kata Al Araf tak memiliki tujuan pasti arahnya kemana.
"Karena sebenarnya proses amuk itu menurut saya gagal karena lintasnya ekonomi, Indonesia stabil sehingga upaya mancing massa enggak dapat. Masyarakat jiga enggak mau terpancing beda sama 1998," jelas Al Araf.
Baca: SEDANG BERLANGSUNG Live Streaming Semen Padang vs Persib Bandung, Cara Live Streaming Tonton di HP
Selain itu, ia menyebut, realitas tubuh TNI juga jauh lebih solid karena hal itu menjadi sangat penting urutan pertahanan jadi lebih solid.
"Saya rasa kedua institusi ini tidak goyah. Tentu poin penting TNI-Polri solid," ungkapnya.
Baca: Gelak Tawa Anggota TNI-Polri Ketika Cak Lontong dan Kawan-Kawan Beraksi di Bawaslu
Araf menilai Aksi 22 Mei merupakan konflik kekerasan politik akibat sengketa pemilu yang terjadi.
Situasi ini kerap terjadi di beberapa negara, misalnya, Nigeria dan Kenya.
Pemicunya, ketidakpuasan terdahap hasil Pemilu.
Aksi juga diyakini bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu.
"Oleh siapa? Mereka yang kalah sehingga menggunakan cara konflik kekerasan politik untuk mendelegitimasi pemilu," ujar Al Araf.