Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerancuan regulasi dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 4 Tahun 2021 menuai rasa frustasi para pelaku bisnis properti karena sejumlah proyek pembangunan properti tersendat karena terganjal regulasi perihal izin pembangunan.
Regulasi yang dimaksud tidak dicantumkan secara jelas dalam Permen sehingga imbasnya muncul berbagai tafsir dan persepsi dari Permen termasuk persyaratan yang berbeda di masing-masing daerah.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Komisariat Banyumas Raya, Said Muchsin mengatakan, para pengusaha properti mengalami kerugian lantaran ketidakpastian yang berimbas pada terbuangnya waktu percuma.
Baca juga: Pebisnis Properti Pertanyakan Rancunya Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021: Tak Atur Perizinan Lingkungan
“Ini kerugian waktu yang juga akan berdampak pada biaya sehingga tidak jelas statusnya seperti apa,” kata Said dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/6/2024).
Menurutnya, kementerian sendiri sudah kebingungan apalagi di level daerah padahal sektor properti punya sumbangsih besar terhadap ekonomi. Apalagi sektor ini pernah menjadi tulang punggung perekonomian nasional pada periode Covid-19.
“Kita sebagai pengusaha yang terus berinvestasi, tentunya sangat menyayangkan ini dan berharap ada kepastian,” katanya.
Said mengatakan, pengusaha ingin pemerintah sigap menyelesaikan persoalan ini karena bisa memicu pembengkakan ongkos untuk keperluan legalitas.
“Kita seperti dipaksa masuk ke KBLI 41011 konstruksi gedung hunian yang lebih ke kontraktor, bukan developer. Kita bukan berharap dapat segera mendulang keuntungan saja. Tapi tetap bermanfaat bagi masyarakat. Maka kita berharap pemerintah dapat merespons ini agar tetap tumbuh dan berkembang,” kata Said.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, pada 14 Desember 2023 digelar diskusi Debottlenecking Persetujuan Lingkungan Penyelenggaraan Rumah Umum dan Komersial pada OSS RBA.
Diskusi tersebut dihadiri oleh Kementerian LHK, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Asosiasi REI.
Beberapa perwakilan REI komisariat Banyumas Raya yang pada saat itu hadir mengungkapkan, pihaknya telah menyampaikan perihal permasalahan yang terjadi di daerah sehubungan dengan tidak diaturnya KBLI 68111 dalam Permen tersebut.
Sebagai pengembang perumahan dengan KBLI 68111, pada penerapannya di daerah mereka dipaksakan masuk ke dalam KBLI 41011 konstruksi gedung hunian dan multisektor. Dimana hal tersebut sangat merugikan bagi pengembang perumahan. Mereka berharap kementerian segera menyikapi dengan meninjau kembali aturan tersebut.
Selanjutnya, salah satu hasil diskusi Debottlenecking tersebut adalah saat ini KBLI 68111 telah dimasukan dalam aplikasi AMDALNET. Kemudian juga telah terintegrasinya AMDALNET dengan Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Penasihat Hukum Sapphire Grup, Rusdianto Matulatuwa menyoroti perihal Permen Nomor 4 Tahun 2021 yang dinilainya justru kurang mendukung iklim pertumbuhan properti untuk menunjang ketersediaan hunian sebagaimana dorongan pemerintah.
Menurutnya, Permen tersebut lahir secara tidak mendasar dengan asas dan jauh dari ketelitian. Sehingga kondisi tersebut membuat para pelaku bisnis kesulitan.
“Padahal dari UU Cipta Kerja sudah menjadi payung hukum yang kuat, namun tetap harus ada aturan turunan. Permen tersebut kurang mengakomodir keberadaan KBLI 68111. Maka, ada penafsiran liar di tingkat daerah karena kerancuan tersebut. Ini sebuah kelalaian,” katanya.
Rusdianto mengatakan, banyak pelaku bisnis yang kesulitan melanjutkan proyek lantaran hal tersebut.
Dirinya menyebutkan, penafsiran berbeda di tingkat daerah salah satunya berujung dengan kemunculan persyaratan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang membutuhkan biaya tersendiri.
“Ini yang memberatkan, karena pada akhirnya biaya ini berpengaruh pada produksi yang tidak sebanding dengan nilai investasi,” ujarnya.
“Sangat tidak adil ketika Developer perumahan yang membangun perumahan di atas lahan hanya beberapa hektar, ketika kumulasi jumlah bangunannya melebihi 10.000 m2 maka kewajiban penyusunan dokumen lingkungannya disamakan dengan developer yang membangun perumahan bahkan “kota baru” di atas lahan puluhan bahkan ratusan hektar,” imbuhnya.
Rusdianto menyebutkan, Kementerian LHK sendiri mengakui adanya kekurangan tersebut. Oleh karenanya, pihaknya pun mendorong pemerintah untuk segera melakukan perbaikan, agar aturan tidak hanya mengikat pemohon, namun juga pihak yang terkait.
“Kami berharap pemerintah segera melakukan recovery. Jika tidak, maka sebaiknya ada uji materi Permen yang menyangkut dengan UU Cipta Kerja dan administrasi negara ke Mahkamah Agung,” katanya.