Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tahukah Anda, Masjid Jami Cikini Al Makmur di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat? Masjid itu merupakan kepunyaan Raden Saleh Sjarif Boestaman atau dikenal sebagai “Pangeran Hitam.”
Masjid Jami Cikini Al Makmur menjadi sejarah panjang perjuangan umat Muslim.
Raden Saleh merupakan pelukis yang dilahirkan dari keluarga Jawa ningrat pada 1807. Ia memiliki tanah wakaf yang kini berdiri Masjid Jami Cikini Al Makmur.
Dahulu, bangunan masjid tak sekokoh sekarang. Pada 1840, material masjid dari bilik bambu dengan ukuran cukup besar itu berdiri tepat di sisi Kali Ciliwung.
Seluruh umat Islam di daerah itu menyebut masjid tersebut dengan nama Masjid Cieh Raden Saleh atau Masjid Jami Cikini karena dapat menampung banyak jemaat saat waktu salat.
Ketua Pengurus Masjid Jami Cikini Al Makmur, KH Syahlani, menceritakan masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya. Dahulu lokasi masjid berada jauh ke dalam atau sekitar 80 meter dari tempat sekarang.
“Dulu bukan di sini, tapi di belakang. Sekarang dipakai oleh Rumah Sakit PGI Cikini,” terang KH Syahlani saat berbincang dengan Tribunnews.com di lokasi, Minggu (12/6/2016).
Pemindahan lokasi masjid terjadi ketika Raden Saleh meninggal pada 1880 karena tanah tersebut telah dijual kepada yayasan milik pemerintah Belanda yaitu Koningen Emma Stiching oleh tuan tanah keturunan Arab bernama Sayed Abdullah bin Alwi Alatas.
“Waktu dipindah, masjid ini digotong oleh warga, sama pagar-pagarnya sekalian, bukan dibongkar terus dibikin lagi. Beneran digotong, hanya saja sejarah tidak menuliskan berapa banyak yang menggotong masjid ini. Tapi menurut cerita, hampir semua warga Cikini membantu menggotong masjid,” jelas Syahlani.
Saat itu, kata Syahlani, pergolakan Islam terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa dengan pemerintah Belanda yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Fock yang menganggap bahwa tanah tersebut sudah dimiliki oleh Dewan Gereja pada saat itu.
H. Oemar Said Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, H Agus Salim hingga Abikoesno Tjokrosoeroyo berjuang agar masjid peninggalan seniman yang pernah menjadi pelukis Kerajaan Belanda tersebut tidak digusur oleh pemerintahan Belanda, dan menggantikannya dengan pendirian gereja.
Namun, ketika HOS Tjokroaminoto sibuk membuat Syarekat Islam untuk membendung laju masuknya paham Leninisme dan Partai Komunis Indonesia saat itu, Belanda langsung mengklaim tanah tersebut dan membuatkan sertifikat.
“Tapi ya apa daya, waktu itu perjuangan tetap kalah dan pemerintah Belanda melalui Yayasan Emma membuat sertifikat atas tanah di masjid itu,” sambung dia.