Dibangun dari Gula Jawa dan Kapur
Pada 1930, akhirnya Masjid Jami Cikini Al Makmur dipugar mengikuti kebutuhan umat Muslim yang bertambah di kawasan Cikini. Berbekal dengan gula jawa, kapur dan bata merah yang digerus, masjid yang mengandung arsitektur Belanda tersebut resmi berdiri.
"Bahan bangunannya dari masyarakat sekitar yang memberikan bantuan beras dan hasil kebun, kemudian dijual untuk beli bahan bangunan seperti gula jawa, kapur dan bata merah yang sudah tidak terpakai,” jelas Syahlani.
Masjid yang dominan berwarna hijau dan putih itu mempunyai luas tanah sekitar 1.200 meter persegi dan mempunyai dua lantai. Kini kembali diperluas ke depan karena setiap kali salat Jumat dan tarawih, umat Muslim yang berada di sekitar masjid memenuhi hingga setengah badan Jalan Raden Saleh, yang dulu sempat bernama Jalan Alatas.
Peninggalan mimbar asli yang pernah dipakai oleh Raden Saleh juga masih terlihat di dalam masjid tersebut. Menggunakan kayu Jati asli, mimbar itu kini jarang dipakai untuk khatib saat salat Jumat karena sudah ada mimbar baru yang berada di masjid hasil perluasan.
Sediakan 200 Takjil Saat Ramadan
Saat Ramadan, pengurus masjid selalu menyediakan tidak kurang dari 200 takjil setiap harinya untuk para pekerja yang berada di sekitar Masjid Jami Cikini Al Makmur. Takjil tersebut bukan hanya berasal dari kas masjid, tetapi juga dari bantuan perusahaan yang berada di sekitar masjid.
“Kalau dari kas, kami sediakan 200an tapi biasanya setiap hari ada saja perusahaan sekitar sini yang memberikan makanan tambahan atau nasi kotak untuk berbuka,” ujar dia.
Ia mengajak umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa terus meramaikan masjid untuk menambah pahala lewat berzikir dan juga membaca Alquran serta mengurangi tidur-tiduran di dalam masjid.
"Ini sudah jadi seperti tempat tidur massal saja, datang ke masjid tidur-tiduran sampai azan, salat, terus tidur-tiduran lagi. Saya sih maunya tidak begini, tapi mau bagaimana lagi? Kami dari pengurus hanya bisa mengerti saja,” imbuh dia.