Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
TRIBUNNEWS.COM - Jika disebut Indonesia, bisa jadi yang terbayang adalah sebuah entitas bangsa, sebuah institusi negara, sebuah teritori yang terdiri dari puluhan ribu pulau dan hamparan lautan, atau himpunan sekira 235 juta yang terdaftar sebagai warganya.
Istilah dan konsep bangsa sejak awal kemerdekaan sudah disadari mengandung problem serius karena ketika Bung Karno-Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa Indonesia belum terwujud sosoknya secara jelas dan utuh.
Saat itu hanya ada the imagined Indonesia,sebuah cita-cita politik yang menyatukan sekian ratus suku di Nusantara ini dalam rumah besar bernama negara Indonesia. Bahkan kata Indonesia sendiri ciptaan orang asing yang berkonotasi posisi geografis, bukan nama sebuah bangsa.
Oleh karenanya Bung Karno-Bung Hatta tidak saja dinobatkan sebagai proklamator kemerdekaan, tetapi juga perajut dan pendiri bangsa.
Mereka menangkap semangat penduduk nusantara untuk memiliki rumah bangsa dan negara berdaulat dan bermartabat setelah ratusan tahun dihina serta diperas oleh kekuatan penjajah.
Dalam teori politik dikenal istilah sosial kontrak, yaitu warga negara menyerahkan kedaulatannya pada pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, serta mencerdaskan anak keturunannya.
Lalu pemerintah sebagai mandataris menerima dan bertanggungjawab atas kepercayaan diberikan rakyat, dengan imbalan otoritas politik, fasilitas, serta gaji yang disepakati.
Namun pada kenyataannya, kita menjadi warga negara ini bukan produk pilihan suka rela dan kontrak sosial, melainkan sebuah takdir sejarah.
Pemerintah mungkin memandang kekuasaannya merupakan hasil dari perebutan menggunakan biaya mahal sehingga tak merasa salah ketika berfoya-foya menikmati fasilitas negara.
Takdir sebagai warga Indonesia mirip keberagamaan seseorang, yang pada umumnya produk takdir historis-sosiologis, bukan perjuangan dan pilihan sadar sebagaimana seseorang menjadi sarjana.
Namun begitu, masih tetap terbuka peluang bagi seseorang untuk memilih agama dan warga negara yang dimaui setelah dewasa.
Gambaran sekilas, potret nusantara ini dari zaman ke zaman ada aspek yang tidak berubah. Yaitu selalu menjadi obyek kontestasi kekuatan asing, berkolaborasi dengan aktor-aktor anak bangsa.
Jadi, siapa nakhoda yang mengendalikan Indonesia? Tak bisa diingkari banyak kekuatan dan budaya asing yang sangat besar jasanya dalam memajukan paradaban nusantara, terutama pengaruh pendidikan asing dan penetrasi budaya agama.