News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2017

Pamer Jasa

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komaruddin Hidayat.

Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

TRIBUNJATENG.COM - Perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas itu bagaikan emas. Di mana pun emas tetap dihargai orang meskipun terjatuh di lumpur.

Sedangkan pekerjaan baik, tetapi dijalani karena niat pamer, haus pujian, dan merasa telah menanam jasa pada orang lain, nilai kebaikannya akan rusak. Orang akan segan menaruh respek.

Lebih-lebih jika secara sadar mengungkit dan menghitung-hitung kembali jasa-jasanya, apa yang semula laksana emas berubah menjadi perunggu. Tidak lagi berkilau.

Makanya hati-hati pada penyakit yang satu ini, yaitu perasaan dirinya orang baik, orang hebat, dan telah berbuat banyak jasa bagi orang lain, atau lebih luas lagi bagi bangsa dan negara. Orang bijak bilang, kalau engkau telah berbuat baik, tak perlu kau katakan.

Biarlah orang lain yang akan menilai dan menceritakan. Sebaliknya, jika engkau berbuat salah, katakan, akui dan minta maaf.

Mengakui kesalahan dan kekurangan diri tak akan membuat derajat seseorang jatuh. Justru sebaliknya. Tetapi ketika seseorang suka memuji dirinya dan menceritakan apa yang telah diperbuat untuk masyarakat, justru orang yang mendengarnya cenderung mencibir. Menganggapnya kurang ikhlas dan minta balas jasa.

Apa yang saya kemukakan di atas mudah diamati dalam pergaulan hidup sehari-hari. Bahkan juga dalam cerita kehidupan politik. Ada orang yang senang menonjolkan kelebihan dirinya.

Padahal, tak perlu dikatakan, ibarat pohon yang tinggi, orang akan tahu dan mengakui ketinggiannya, tanpa harus menyebut dirinya tinggi. Pribadi yang selalu haus pengakuan dan pujian hanyalah membuat lelah dan kecewa.

Di negara otoriter, seperti Korea Utara, memang benar-benar terjadi. Rakyat direkayasa untuk memberi tepuk tangan gemuruh memuji presidennya setiap habis pidato.

Ketika melewati patungnya, harus menunduk memberi hormat. Bahkan melipat uang yang ada foto presidennya mesti dihindarkan. Ini saya lihat sendiri ketika 1981 jalan-jalan ke Pyongyang (ibukota Korea Utara) yang saya kira sampai sekarang masih belum berubah.

Pemimpin yang senang pujian biasanya akan dikelilingi oleh orang-orang yang bertipe yesman. Akan selalu mengatakan yes pada atasannya, selalu berusaha menyenangkan atasannnya, sekalipun hati kecilnya tidak menyetujui.

Anak buah seperti itu sesungguhnya tanpa disadari bagaikan racun yang akan membunuh karier atasannya. Tapi dalam sejarah memang ada saja tipe pemimpin yang senang dipuji-puji dan antikritik. Padahal orang bijak bilang, kritik itu madu, pujian itu mengandung racun.

Jika dibawa dalam ranah agama, segala pujian itu hanya milik Tuhan. Kita diajarkan menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kebaikan orang, tetapi secara proporsional, tanpa menghilangkan kewajiban untuk menegur secara bijak jika salah.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini