Bahkan, bila orang yang sakit tersebut nekat berpuasa—mungkin karena begitu bersemangat beribadah—hingga terjadi kematian, justru agama menghukuminya sebagai orang yang bermaksiat, bukan beribadah.
Dalam hal ini Syaikh Nawawi Banten memerinci beberapa hukum orang yang sakit berkaitan dengan boleh tidaknya ia tidak berpuasa. Dalam kitab Kaasyifatus Sajaa beliau menjelaskan:
اعلم أن للمريض ثلاثة أحوال فإن توهم ضررا يبيح له التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر، فإن تحقق الضرر المذكور ولو بغلبة ظن وانتهى به العذر إلى الهلاك وذهاب منفعة عضو حرم عليه الصوم ووجب عليه الفطر، فإذا استمر صائما حتى مات مات عاصيا، فإن كان المرض خفيفا كصداع ووجع أذن وسن لم يجز الفطر، إلا أن يخاف الزيادة بالصوم
Bila diduga adanya mudarat yang membolehkan bertayamum maka dimakruhkan berpuasa bagi orang yang sakit dan diperbolehkan baginya berbuka.
Bila mudarat yang diduga tersebut terwujud dengan dugaan yang kuat dapat menimbulkan kerusakan dan hilangnya manfaat suatu anggota badan maka haram berpuasa bagi orang tersebut dan wajib berbuka.
Bila ia tetap terus berpuasa sehingga meninggal dunia maka ia meninggal dalam keadaan bermaksiat.
Bila sakit yang diderita adalah sakit yang ringan seperti pusing, sakit telinga dan gigi maka tidak diperbolehkan berbuka kecuali bila dikhawatirkan akan bertambah sakitnya dengan berpuasa (lihat: Muhammad Nanawi Al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2008], hal. 199). (Nu. Online/Yazid Muttaqin)