News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2017

Mendengarkan Itu Sulit

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komaruddin Hidayat.

Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

TRIBUNNEWS.COM - Perjumpaan lintas budaya, agama dan bangsa sekarang ini berlangsung semakin intens, terutama di kalangan profesional kelas menengah kota. Khususnya bagi seorang pemimpin, entah pemimpin di lingkungan pemerintah atau perusahaan, sangat penting memiliki perhatian dan kemampuan memahami budaya lain serta keterampilan berkomunikasi jika ingin meraih sukses.

Tidak saja kalangan profesional, para politisi dan pejabat negara pun harus mau mendengarkan, mempelajari dan menghargai keanekaragaman budaya Indonesia agar memahami karakter anak buahnya serta masyarakat pada umumnya.

Tanpa memahami konteks kulturalnya, kita mudah salah paham terhadap individu seseorang. Namun begitu, menilai seseorang hanya dengan mengacu watak komunal sebuah kelompok etnis juga bisa menyesatkan.

Seperti tulis Erin Meyer dalam The Culture Map: Speaking of Cultural Differences Leads Us to Stereotype and Therefore Put Individuals in Boxes with "General Traits". Instead of talking about culture, it is important to mjudge people as individuals, not just products of their environment (Erin Meyer, hal 13).

Jadi, keduanya sama pentingnya untuk memahami baik keunikan individu maupun watak etnisnya karena seseorang tidak terbebas dari pengaruh lingkungan budaya yang mengasuhnya. Sebagai pribadi, setiap individu memiliki keunikan dan kebebasan untuk memilih jalan hidup serta bertanggungjawab atas tindakannya.

Di alam demokrasi, sebuah masyarakat yang sangat majemuk ini, orang mudah terjebak pada stereotyping dan generaliasi dengan merujuk pada persepsi terhadap etnis tertentu, namun mengabaikan karakter individualnya. Dalam konteks ini, sangat penting untuk saling mengenalkan diri dan mendengarkan yang lain (the others).

Demokrasi memang selalu gaduh (noisy) dan membuat masyarakat tidak bisa diam (restless). Di Indonesia kegaduhan wacana politik itu sangat terasa sejak era reformasi yang ditandai oleh berakhirnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto pada 1998.

Sejak itu bermunculan partai politik dan ormas baru yang juga menandai terbukanya ruang demokrasi dan meningkatnya partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) secara langsung.

Civic nation

Melihat kenyataan Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya yang telah mapan dan berakar kuat ke masa lalu, muncul pertanyaan apakah Indonesia ini merupakan ethnic nation, nation state, ataukah civic nation? Seperti dalam konsep ethnic nation dan nation state, sebuah negara dibangun atas dasar kesamaan bahasa, suku, dan bangsa.

Contoh yang mendekati adalah Turki, baik bangsa, bahasa maupun negaranya. Sedangkan civic nation yang menjadi perekat utama adalah civic identity, sebuah cita-cita bersama memajukan warganegara yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban politik.

Ada kesetaraan di depan hukum serta kesamaan hak dalam mengaktualiasikan diri dan dalam meraih kesejahteraan hidupnya. Contoh yang paling mendekati adalah negara Amerika Serikat, mengingat bangsa Amerika tidaklah populer karena warganya mayoritas imigran.

Melihat argumen di atas, sesungguhnya Indonesia masuk kategori civic nation karena yang menjadi pemersatu dan identitas Indonesia adalah kesepakatan dan cita-cita bersama untuk merdeka. Sedangkan nama Indonesia lebih mengacu pada letak geografis, jajaran pulau di bawah India.
Sebuah negara baru di atas kekuasaan lokal yang secara ideologis diikat oleh ideologi Pancasila. Semua kekuasaan lokal bergabung ke dalam negara Indonesia.

Semua warganya berkedudukan sama di depan hukum. Identitas lokal dan primordial posisinya bersifat sekunder-komplementer lalu bersama-sama membentuk identitas nasional. Kita sebagai generasi penerus selayaknya menyampaikan salut dan rasa kagum akan kerelaan dan ketulusan suku bangsa untuk menjadi bagian dari bangsa.

Kenaikan status itu mengubah cara berpikir mereka secara revolusioner, yang tadinya selama berabad-abad hanya berpikir sebatas sukunya, lalu berkembang memiliki kerangka berpikir kebangsaan. Perkembangan ini tidak berarti mengabaikan pola pikir kesukubangsaan, melainkan justru memperkaya keduanya. (Nunus Supardi, Bianglala Budaya, hal 767).

Namun penyemaian dan pembentukan identitas nasional ini masih dalam proses menjadi (becoming), dan tidak mungkin bisa menghilangkan loyalitas warga negara terhadap identitas primordialnya, terutama identitas keagamaan.

Jadi, kesadaran sebagai warga negara (citizenship) mesti disadarkan dan dibangun terus-menerus, tanpa meremehkan identitas lokalnya. Ini sebaiknya dilakukan sejak dini terutama di lingkungan sekolah agar terbentuk pribadi toleran, inklusif dan menghargai mereka yang berbeda sepanjang dalam koridor hukum dan kepantasan sosial. Perbedaan itu bukan saja diterima, dipahami dan dihargai, melainkan juga dirayakan (celebrates the differences).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini