News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2017

Tidak Semua Musafir Boleh Batalkan Puasanya, Baca Dulu Aturan Mainnya

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BUKA BERSAMA -- Musafir dari berbagai daerah berbuka bersama di teras Masjid Darussalam, Jalan Raya Cianjur - Bandung, Desa Bojong, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, Jumat (18/7/2014).

Lalu bagaimana sebenarnya aturan main bagi seorang musafir yang diperbolehkan tidak berpuasa?

Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:

( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ وَالْمَرِيضُ صَائِمَيْنِ ثُمَّ أَرَادَا الْفِطْرَ جَازَ ) لَهُمَا لِدَوَامِ عُذْرِهِمَا . ( فَلَوْ أَقَامَ ) الْمُسَافِرُ ( وَشُفِيَ ) الْمَرِيضُ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِمَا ( الْفِطْرُ عَلَى الصَّحِيحِ ) لِزَوَالِ عُذْرِهِمَا وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُمَا الْفِطْرُ اعْتِبَارًا بِأَوَّلِ الْيَوْمِ

“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja beliau menambahkan penjelasan:

وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا

“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589)

Dari kedua penjelasan di atas secara rinci dapat diambil kesimpulan aturan main kebolehan tidak berpuasa bagi seorang musafir sebagai berikut:

1. Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan mengqashar shalat.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal kilometer yang ditempuh untuk bisa menqashar shalat.

Ini bisa dimengerti karena berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi empat puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi.

Juga empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81 kilometer.

2. Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.

3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia adalah batas kelurahan.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini