Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
PADA awalnya mungkin sekali hidup ini kita jalani sekadar mengikuti dorongan insting, seperti perasaan lapar lalu menggerakkan untuk makan. Rasa kantuk mendorong mencari tempat tidur.
Haus membuat kita mencari minum. Tetapi ketika kebutuhan insting secara rutin sudah terpola ritme pemenuhannya, kita lalu bertanya lebih lanjut.
Untuk apa semua ini saya jalani?
Pasti kita menjalani hidup tidak semata didorong oleh kinerja insting.
Selalu saja kita dibuat gelisah oleh berbagai pertanyaan, seperti bagaimanakah meraih hidup yang bermakna (meaningful life)?
Setiap pribadi memiliki cara pandang dan penilaian masing-masing atas apa yang dilakukan atau hendak dilakukan.
Bagi anak-anak yang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orangtuanya.
Seorang pemain sinetron pemula di televisi mungkin saja prestasi yang paling bermakna dan menjadi obsesi adalah ketika rating penontonnya naik.
Ada lagi orang yang menempatkan rumah dan mobil mewah atau jabatan sebagai simbol dan ukuran keberhasilan hidup.
Apa iya begitu?
Filsafat hidup, keyakinan, dan ajaran agama akan selalu hadir menjadi rujukan bagi seseorang dan masyarakat untuk menentukan bagaimanakah hidup bermakna.
Baca: Perempuan 20 Tahun Tewas Diduga Minum Pil Aborsi, Sang Pacar Minta Perlindungan Polisi
Mereka yang menganut faham hedonisme berpandangan sukses dan kenikmatan hidup adalah ketika mampu memanjakan kenikmatan dan kelezatan fisikal-emosional.
Pendeknya hidup menjadi bermakna dan berharga ketika terpenuhi secara mudah kebutuhan dan kenikmatan badani.
Penganut faham hedonisme ada yang permanen sebagai keyakinan hidup, namun ada yang menjadi gaya hidup sementara dan mengalami perubahan di tengah jalan.