Masjid ini bergaya neoklasik Eropa, dapat dilihat bangunan bagian depan dari Masjid mirip benteng spanyol yang disiapkan oleh bangunan militer Belanda.
Selain itu, pada tahun 1910, lantai masjid yang terbuat dari batu kali bersusun dan diplester tanah liat, diganti dengan ubin yang dipesan oleh orang Belanda beserta tukang yang memasangnya.
Pada serambi samping masjid, terdapat tiang berbentuk segi enam dan tambun yang bagian atasnya terdapat hiasan pelepit-lepit rata.
Bentuk tiang tersebut mengingatkan pada bentuk tiang doric pada arsitektur Eropa.
Sedangkan etnis Cina juga ikut mengerahkan para tukangnya untuk mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap Vihara Cina.
"Lenggek-lenggek atapnya dapat dilihat, persis bangunan di Cina," jelasnya.
Begitu juga dengan mihrab atau mimbar tempat imam memimpin salat dan menyampaikan khutbahnya.
Bagian tersebut juga dibuat ukiran kayu mirip ukiran Cina.
"Dulu, di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dari kayu.
Kira-kira bentuknya seperti keranda mungkin, tempat ini digunakan oleh bilal untuk mengulang aba-aba imam sewaktu salat berlangsung, apalagi dulu belum ada mic," ceritanya.
Para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Gantiang ini.
Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap masjid ini.
Usut punya usut, pada awalnya masjid ini didirikan sebagai sarana pemersatu delapan suku yang ada di Kota Padang.
Masjid ini juga pernah menjadi pusat pergerakan perjuangan kemerdekaan tahun 1945.