“Membeli kesesatan dengan petunjuk” menurut para ahli tafsir adalah mengganti petunjuk dengan kesesatan. Artinya, setiap ditunjukkan padanya jalan yang benar, yang lurus, yang selamat, malah menempuh jalan yang salah, yang menyimpang dan celaka. Ditunjukkan untuk berkawan dengan orang-orang baik, malah berkawan dengan orang-orang berkarakter buruk. Diajari jujur, malah curang. Diajari untuk amanah, malah berkhianat!
Itulah diantara ciri dan karakteristik orang munafik. Baru delapan ayat! Bagaimana jika kita bedah semua ayat Al-Quran tentang kemunafikan dan orang-orang munafik? Bagaimana pula penjelasan Rasulullah dalam banyak sekali hadis-hadisnya?
Beriman tetapi tidak beramal saleh itu juga termasuk munafik. Sebagaimana halnya mengaku beriman tetapi tidak bisa berkata yang baik; beriman tetapi menipu; beriman tetapi mengadu-domba; beriman tetapi pendendam, dan lain sebagainya. Setiap mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama.
Contoh lain kemunafikan dalam Al-Quran adalah mengatakan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. “Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya.” (Qs. As-Shaff [61]: 3)
Termasuk munafik yaitu orang yang malas shalat atau shalat untuk tujuan pamer (riya’), dan malas berdzikir. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit saja.” (Qs. An-Nisa [4]:142)
Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tentram dan bahagia, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (baca: Qs. Al-Baqarah [2]:8-20) Ada pepatah mengatakan: kita bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan, selalu gelisah.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran, pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan menjadi melemah. Oleh karenanya, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:147)
Jadi, kita harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran. Rasul berpesan: “Katakanlah, ‘aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqomahlah dengan (perkataanmu) itu.” (HR. Ahmad)
Oleh karenanya kita harus terus mengimani kebenaran, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapapun resikonya. Jangan munafik; setengah beriman setengah kafir; setengah syukur setengah kufur; setengah teman setengah lawan. Pesan Rasul: “Katakanlah tentang kebenaran meskipun pahit” (HR. Ibnu Hibban).
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang munafik yang berkata: Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan karena hati mereka mengingkarinya. Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti.” (Qs. Al-Anfal [8]:21-22)