3. Qillatul kalam (bicara seperlunya). Biasa juga disebut dengan shamt.
4. Yang terakhir adalah i’tuzalul anam (menarik diri dari pergaulan yang berlebihan). Biasa juga disebut sebagai ‘uzlah'.
Ibnu Arabi menambah dengan unsur ke-5, yakni meniru Rasul SAW.
Mujahadah melepaskan beban-beban (maksiat) kita, sedang riyadhah menjadi sayap-sayap kita untuk terbang ke hadirat-Nya.
Lihatlah betapa ibadah (di bulan) puasa--termasuk berbagai anjuran mengisi waktu dengan memperbanyak ibadah Sunah, mendaras Quran, melakukan zikir-zikir dan wirid-wirid, qiyamul-lail--sesungguhnya merupakan miniatur dari suluk.
Termasuk meniru Nabi yang disebutkan dalam Sunah: "Nabi adalah orang yang banyak bersedekah. Tapi, dalam bulan puasa, sedekahnya seperti angin, mengalir ke sana dan ke mari tanpa henti."
Lihat betapa semua unsur mujahadah dan riyadhah ada di dalamnya.
Maka, jika seseorang hendak memiliki modal awal yang besar untuk bertasawuf atau bersuluk (sepanjang tahun), maka memaksimumkan kualitas ibadah (di bulan) puasa adalah jalan yang terbaik.
Itu pula sebabnya Allah begitu memuliakan ibadah (di bulan) puasa hingga ke tingkat ibadah termulia.
Sedemikian hingga Dia berfirman: "Ash-shawmu lii wa anaa ajzii bih," yang artinya, "Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menyampaikan pahalanya."
Mudah-mudahan Allah SWT memberikan hidayah, ‘inayah dan tawfiq-Nya agar kita bisa beribadah (di bulan) puasa yang telah menjelang, dengan sebaik-baiknya.
Sehingga hal ini bisa menjadi pembuka suluk kita menuju ihsan, menuju tajalli-Nya, terbang dari alam dunia rendah ini hingga sampai ke hadirat-Nya.
Artikel ini telah tayang di ganaislamika dengan judul Puasa adalah Miniatur Suluk