Dengan mengandalkan nasab dan kedekatan, hingga seseorang mengandalkannya tanpa memperhatikan amalannya sendiri.
Ini, kata Al-Ghazali, seperti orang yang menganggap dirinya bisa kenyang karena orang tuanya telah makan; atau dahaganya bisa hilang sebab orang tuanya telah minum.[9]
Kesesuain antara perhatian Al-Ghazali dalam masalah ini seperti pengalaman perjumpaan Imam Thawus dan Imam Ali bin Al-Husain.[10]
Thawus berkisah, “Pada satu kesempatan, saya pernah melihat sesorang yang sedang shalat di bawah saluran air di Masjidil Haram. Dia berdoa dengan khusyuk dan menangis. Ketika telah menyelesaikan shalatnya, aku pun menghampirinya.
Ternyata orang itu adalah Ali bin Al-Husain ra. Kemudian aku berkata, “Duhai keturunan Rasulullah Saw., aku melihatmu seperti ini dan itu. Dan engkau memiliki tiga harapan yang kelak memberikan keamanan dari rasa takut: Pertama, engkau cicit Rasulullah Saw.; kedua, syafaat dari kakekmu; ketiga, rahmat dan kasih sayang Allah.”
Kemudian Imam Ali bin Al-Husain menimpalinya, “Meski aku ini cicit Rasulullah, tapi belum bisa menjadi jaminan keamananku di akhirat kelak. Bukankah kau telah mendengar firman Allah, “Bilamana sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak bisa lagi saling bertanya di antara mereka.” (QS Al-Mukminun [23]: 101). Syafaat kakekku, belum tentu menjamin, sebab Allah berfirman, “…
dan mereka tiada memberi syafaat kecuali kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS Al-Anbiya [21]: 28). Sedangkan rahmat Allah SWT., seperti firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Araf [7]: 56). Sementara aku sendiri tak tahu, apakah termasuk golongan orang yang berbuat baik (atau bukan).”
Maka, dengan puasa, kita menunjukkan rasa takut (khauf)melalui kekhusyukan dan ketundukan. Menepati perintah Tuhan untuk menggapai janji-janji pahala dan surga, dan dipuncaki lewat harapan perjumpaan dengan al-Haqq. Dengan puasa pula menanamkan satu harapan (raja) keabadian.
Harapan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Harapan untuk dapat mempersembahkan yang terbaik dari ibadah manusia yang berlumur dosa. Harapan untuk dapat merengkuh rahmat Tuhan, dan Tuhan merengkuh kita dengan kasih dan sayang-Nya (radhiyallah wa radhu anhu).
Artikel ini telah tayang di ganaislamika.com dengan judul: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-7-psikologi-puasa-dalam-ihya-ulumuddin-3/