Artinya, pengelolaan Baitul Maal pada masa Rosulullah saw, masih ‘sederhana’. Di samping karena alasan aset yang belum begitu banyak, perlu disadari bahwa Baitul Maal pada masa Nabi adalah sebuah embrio atas lembaga keuangan umat Islam, sehingga di masa-masa berikutnya dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan secara lebih menyeluruh.
Bahkan, pada masa Nabi saw., kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima (1/5) bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa pernah menunda-nunda.
Inilah yang membuat pengelolaan Baitul Maal masih praktis dan tidak sekomplek pada zaman-zaman sepeninggal Nabi saw.
Positioning Baitul Maal—secara lebih luas baik secara fungsi dan wewenangnya—mulai berlaku ketika masa Abu Bakr ash-Shiddiq menjabat sebagai khalifah (632-634 M).
Hal ini dibuktikan ketika kepemimpinannya baru berjalan 6 bulan lamanya, Abu Bakar pindah ke pusat kota Madinah dan bersamaan dengan itu ia membangun sebuah Baitul Maal.
Dan sejak saat itu, kebutuhan keluarga Khalifah Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal tersebut. Saat itu, Abu Bakar diperbolehkan mengambil dua setengah (2 ½) atau dua tiga perempat (2 ¾) dirham setiap harinya dari Baitul Maal.
Namun ternyata tunjangan (ta’widh) tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan 6.000 dirham per tahun.
Oleh karena konsennya Khalifah Abu Bakar terhadap keuangan umat, maka dua tahun periode Abu Bakar memerintah diawali dengan menyelesaikan problem keuangan public.
Bahkan ia terjun langsung memerangi orang-orang yang murtad, nabi palsu, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Hal ini sekaligus menjadi bukti dari konsistensi Abu Bakar ash-Shiddiq yang secara tegas mendukung kebijakan ekonomi yang pernah diputusan pada masa Nabi Saw.
Selain dengan kebijakan penagihan zakat kepada para muzakki sebagai program hulunya, Khalifah Abu Bakar juga menerapkan program hilir sebagai implementasi pentasharufan-nya yang diwujudkan dengan sistem penghitungan pengumpulan dan pendistribusian zakat yang akurat melalui Baitul Maal.
Bahkan, dana yang ditampung di Baitul Maal pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq selalu didistribusikan sampai habis tidak tersisa.
Pada tahun kedua kekhalifahannya (12 H/633 M), Abu Bakar mengembangkan Baitul Maal dalam arti yang lebih luas.