Bukan lagi sekadar pihak pengelola harta umat, namun lebih dari itu, Baitul Maal diposisikan sebagai tempat penyimpanan harta negara.
Saat itu, Baitul Maal sudah difungsikan sebagai institusi yang secara resmi mengatur jalannya arus keuangan Negara.
Pada tahun kedua pula, Abu Bakar juga menyiapkan tempat khusus di rumahnya yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan harta yang dikirimkan ke Madinah. Akan tetapi, tempat penyimpanannya masih sangatlah sederhana, yakni hanya berupa karung atau pun kantung. Aktivitas itu pun terus berlangsung hingga ia wafat pada 13 H/634 M.
Abu Bakar ash-Shiddiq selain memiliki kebijakan strategis tentang ‘jemput bola’ pada muzakki, juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat.
Kebijakan ‘jemput bola’ Abu Bakar ash-Shiddiq diberlakukan secara tegas dan menyeluruh kepada seluruh umat Islam saat itu, termasuk Badui (a’rabi) yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan membayar zakat sepeninggal Rasulullah saw.
Terkait dengan pengelola zakatnya (Amilin), Abu Bakar mengintruksikan pada para amil bahwa kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan.
Hal ini karena kehati-hatian Abu Bakar yang khawatir jika terjadi kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat.
Kemudian, hasil dari pengumpulan zakat itulah yang oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Adapun terkait dengan pendistribusian harta Baitul Maal, Abu Bakar ash-Shiddiq menggunakan prinsip kesamarataan, yakni jumlah yang diberikan kepada semua sahabat besarannya sama.
Tidak ada perbedaan antara sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam dan yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, ataupun antara pria dengan wanita.
Dengan prinsip pendistribusian yang seperti ini, maka seluruh kaum Muslimin diberikan bagian hak yang sama dari hasil pendapatan negara.