Demikian ini karena kerakusan diri bermula syahwat perut yang menggiring nafsu untuk berbuat menyelisihi ketakwaan dan ketaatan. Para pelaku taubat pun perlu melakukan ini dalam rangka pencegahan kembali kepada tindakan kemaksiatan. Adapun para zahid melakukan ini sebagai pembebasan diri dari makanan dan aktivitas mengunyah yang meneguhkan mazhab dan kebiasan mereka. Sementara bagi ahli makrifat menjadi tindakan yang terpuji, karena dia telah melintasi ragam tahapan riyadhah, latihan (tajribat), siasat, dan lain sebagainya.
Al-Hujwiri juga menyindir orang-orang yang hidupnya untuk makan dengan mengatakan, “Orang-orang dulu makan untuk hidup, tetapi kalian hidup untuk makan.” Menurutnya, kedua hal ini perbedaan yang besar, dalam arti para salafus saleh menghabiskan hari-hari dengan menyengaja untuk lapar berharap keridaaan Tuhan. Lapar menjadi jalan hidupnya, bukan keterpaksaan. Lapar menjadi sarana mereka untuk mengikat sifat-sifat syaitaniyyah yang menghunjam dalam jiwanya. Seperti disebutkan al-Hujwiri, dikeluarkannya Adam dari surga dan dijauhkannya dari kedekatan dengan Allah karena sejumput makanan.[5]
Selain itu, al-Hujwiri juga menyatakan bahwa seseorang yang laparnya karena terpaksa bukan sebenarnya, dia akan makan jika telah diperbolehkan. Bahkan dia tidak akan membatasi dirinya dengan makanan-makanan halal, yang mana hal itu menjadi sesuatu yang terlarang bagi para sufi. Sehingga dia pun tak akan beroleh manfaat dari laparnya. Tak akan memberikan dampak apa-apa kecuali hanya lapar itu sendiri. Dalam hal ini, dia membenarkan pernyataan gurunya, al-Kattani, yang mengatakan seorang murid harus menguatkan dirinya dengan tiga perkara: akan tidur ketika mengantuk, berbicara bilamana harus berbicara, dan makan saat benar-benar lapar.[6]
Pada hakikatnya, kekuatan indera manusia bergantung pada makanan. Jika indera tersebut dimanjakan dengan ragam kenikmatan makanan, jiwa rendahnya menjadi-jadi. Hawa nafsunya menguasai anggota tubuh, bahkan setiap pembuluh darah terhijab dengan tabir yang berbeda-beda. Namun sebaliknya, jika makanan dibatasi dan dicegah maka nafsu pun melemah dan akal mendapat kekuatan. Rahasia-rahasia dan bukti-bukti akan tersingkap, hingga ketika jiwa rendah tak mampu melakukan aktivitas dan hawa nafsu menghilang, maka setiap keinginan yang sia-sia akan terhapus dalam tujuan kebenaran. Puncaknya, para pencari Tuhan akan memperoleh seluruh keinginannya.
Lebih jauh dari semua itu, lapar tidak sekadar mengajarkan kita untuk mematikan dorongan nafsu makan dan minum. Lapar dan haus hanya menjadi prasyarat luaran yang seharusnya digali lebih dalam. Simbolisme lapar dari makanan dan minuman sejatinya memberikan isyarat tajam bahwa manusia dianjurkan untuk menyudahi, atau setidaknya mencukupkan dengan karunia yang ada sebagai pendorong ibadahnya. Bukan menjadi rakus memakan harta. Gasak sana-sini tak ada habisnya, seakan dunia hendak dilahap semua. Bukan memonopoli kekayaan dan kehormatan tanpa pernah berbagi dengan lian. Tapi mencukupkan diri dengan perolehan, dan menebar kebaikan kepada semuanya.
Ungkapan simbolik dari para sufi harus menjadi muara ketaatan dalam segala hal. Seperti pernyataan Abul Abbas Qashshab: “Ketaatanku dan ketidaktaatanku bergantung pada dua potong roti. Jika kumakan, aku menemukan bahan setiap dosa dalam diriku, namun bilamana aku cegah, aku mendapati dasar bagi setiap aktivitas kesalehan dalam diriku.” Artinya, pembunuhan nafsu secara lebih luas harus mengarah pada dua hal: lahiriahnya menahan lapar dan dahaga, ruhaniahnya mengontrol seluruh keinginan rendah yang terpendam dalam jiwa-jiwa manusia. Karena itulah, simbolisme dua potong roti menjadi dasar ketaataan dan ketidaktaatan. Roti menjadi simbol duniawi. Siapa yang mampu mengendalikannya, ia telah mengontrol gerak-laju duniawi dalam diri. Namun, siapa tak tahan dengan godaannya, di situlah bermula seluruh kenikmataan semu sumber kerakusan dan kerusakan.
Artikel ini telah tayang di ganaislamika.com dengan judul: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-10-al-hujwiri-dan-para-sufi-lainnya-1/