"Bahwa mereka adalah tetangga, yang pernah punya pengalaman bersama dalam memaknai ruang kampung," tambah Heri.
Sehingga nyadran mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu.
Baca juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 1442 H di Kota Makassar Beserta Bacaan Niat Puasa
Baca juga: Resep Membuat Terang Bulan yang Mudah dan Simpel, Inspirasi Menu Buka Puasa Ramadhan
Akulturasi Budaya dan Agama
Sebelum agama Islam diyakini masyarakat, nyadran dipercaya berawal dari akulturasi antara agama Hindu dan Budha.
Dilansir iain-surakarta.ac.id pada Kamis (25/3/2021), Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha yang telah ada sekitar abad 15.
Dalam perjalanannya, kegiatan nyadran akhirnya mengalami akulturasi, baik dengan budaya masyarakat Jawa juga dengan agama Islam.
Akulturasi semakin kuat ketika Walisongo menyebarkan agama Islam dengan mengakultutasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam.
Sebelumnya kegiatan ini syarat dengan pemujaan roh, lantas oleh para Walisongo kegiatan ini lebih ditujukan sebagai sarana berdoa kepada yang Tuhan Yang Maha Esa.
Lambat laun, kegiatan akulturasi budaya dan agama ini kini telah menjadi aktivitas tetap bagi masyarakat Jawa.
Terdapat kesamaan dari kedua akulturasi tersebut, yaitu sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur.
Namun, tujuan dan cara yang dilakukan telah jauh berbeda.
Pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya, sedangkan Walisongo mengakulturasikan nyadran dengan doa-doa dari Al-Quran.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani, IAIN Surakarta/Rohim Habibi)
Baca berita Ramadhan 2021 lainnya