Masyarakat yang beragama Islam yang ada di kawasan Cikini Binatu dulu diwajibkan bersedekah beras, dikumpulkan untuk dijual dan dibelikan batu bata untuk pembangunan aasjid.
"Beras pada waktu itu mahal, jika dijual sangat berharga seperti emas," ujar Haji Syahlani.
Baca juga: Masjid Istiqlal Makin Ramah untuk Kaum Disabilitas, Tersedia Lift dengan Kaca Transparan
Warga Cikini Binatu
Kawasan sekitar Jalan Raden Saleh saat ini, dulunya merupakan tempat tinggal warga lokal yang dikenal dengan nama warga Cikini Binatu.
Bukan tanpa sebab, warga Cikini saat itu diberi julukan Cikini Binatu karena sebagian besar profesinya adalah tukang cuci baju para saudagar Belanda yang menyerahkan urusan cuci mencuci kepada mereka.
"Masyarakat di sini yang menjadi tukang cucinya, makanya dibilang Binatu," ujar Haji Syahlani.
Warga Cikini Binatu biasa mencuci pakaian para saudagar Belanda itu di Sungai Ciliwung yang tepat berada di samping Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini.
Haji Syahlani bercerita dahulu Sungai Ciliwung airnya masih sangat jernih hingga orang bisa melihat dasar sungainya, tidak ada sampah pelastik maupun kotoran lainnya.
"Dulu tidak ada plastik, tidak ada daun, daun yang jatuh juga langsung mengalir dan hilang. Sekarang sering banjir karena plastik-plastik itu. Dipelihara dengan baik oleh warga sini," cerita laki-laki kelahiran 1948 itu.
Baca juga: Riwayat Masjid Jami Cikini dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto hingga KH Agus Salim Melawan Belanda
Masjid Jami Al-Ma'mur Cikini selesai dibangun tahun 1351 Hijriah atau tahun 1932 Masehi.
Sejak awal berdiri bentuknya sudah seperti ini, hanya beberapa kali direnovasi tanpa mengubah wujud aslinya.
Masjid ini memiliki sekitar 7 pintu utama, dengan 10 jendela yang kesemuanya asli memakai kayu jati.
Dari Menara Masjid, dulu orang bisa melihat Monas secara langsung hingga lapangan IKADA tempat Presiden Soekarno berpidato, karena belum banyak gedung tinggi.
Menara Masjid digunakan muadzin untuk mengumandangkan adzan jika masuk waktu salat tanpa pengeras suara.