TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Sidang lanjutan kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman oleh 12 oknum prajurit Kopassus Grup 2/Kandang Menjangan menguak serangkaian fakta horor maut pada Sabtu dinihari, 23 Maret 2013.
Tiga saksi penting petugas Lapas Cebongan membeber aksi Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon dan kawan-kawan. Ketiga saksi terdiri Kepala Pengamanan Lapas Ceongan Margo Utomo, sipir Tri Widiyanto, dan Supratiknyo, kepala regu piket saat kejadian.
Margo Utomo mengawali kesaksian saat dirinya ditelepon Kalapas Cebongan saat itu, Sukamto Harto. Telepon diterima pada Jumat, 22 Maret 2013 sekitar pukul 23.30. Sukamto Harto menanyakan situasi Lapas. Namun saat itu Margo menjawab kondisinya aman.
Ketika hari berganti, Margo yang ada di rumah dinas mendengar pintu depan rumahnya diketuk dua kali sekitar pukul 00.30 WIB. Rumah dinas itu lokasinya bersebelahan dengan komplek penjara. Ia lalu keluar dan ternyata ada Supratiknyo.
Pratiknyo tak sendirian. Di kanan kirinya ada dua orang memakai rompi, penutup kepala yang hanya memperlihatkan dua matanya, serta menenteng senjata laras panjang.
"Saat itu Pratiknyo mengatakan ada anggota dari Polda mau mengambil tahanan dari Polda yang dititipkan siang harinya. Namun saat itu belum disebutkan namanya," aku Margo.
Kemudian, lanjut Margo, satu orang meninggalkan rumah Margo bersama Supratiknyo berjalan menuju pintu depan Lapas. Seorang lagi mengiringi dirinya sembari meminta kunci. Tapi Margo mengatakan apapun yang terjadi harus seizin Kalapas.
Margo menjelaskan, kunci setiap kamar tahanan disimpan di almari di ruang utama jaga di Lapas. Namun kunci almari tersebut memang dirinya yang memegang. Sembari melangkah, Margo curiga dengan gelagat orang-orang bersenjata itu.
Sebab, selama ini apabila ada petugas dari kepolisian yang ingin mengambil tahanan, selalu pada jam kerja dan tidak pernah dilakukan malam hari. Margo, Pratiknyo, dan Tri Widiyanto berkumpul di ruang portir bersama kelompok bersenjata yang datang.
Seorang pelaku yang memperlihatkan wajahnya di ruang portir sekilas menunjukkan map yang dibuka berisi selembar surat berlogo seperti lambang kepolisian atau Tribrata. Margo mengaku tak melihat persis kop surat tersebut sebab jaraknya dengan pelaku sekitar dua meter.
"Saya kemudian menelepon Kalapas pakai handphone saya. Tapi saat saya bilang, "Pak ada anggota..", hape saya langsung direbut, dan dia (yang merebut) bilang ke Kalapas ia ditunggu komandannya di depan Lapas. Kemudian saya ditendang dan dipaksa menunjukkan kamar Diky cs," ungkap Margo.