TRIBUNNEWS.COM – Para pelaku jual beli manusia (human trafficking) mulai mengalihkan sasaran aksi kejahatan mereka. Jika pada beberapa tahun lalu, korban yang mereka incar adalah gadis-gadis remaja yang berasal dari daerah pelosok.
"Sekarang bisa dari daerah mana saja, tidak hanya dari daerah tertinggal atau miskin. Dari kota-kota besar juga banyak," ujar Panit 1 Unit Trafficking and People Sugling Subdit 4 Direskrimum Polda Jabar, AKP Yayah Rokayah, saat ditemui usai rakor pembentukan gugus depan penanganan korban perdagangan manusia dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sekretariat P2TP2A KBB, Jalan Raya Batujajar, Bandung, Selasa (27/8/2013).
Mereka yang berasal dari perkotaan, kata Yayah, lebih mudah diiming-imingi karena ingin memenuhi gaya hidup hedonis yang mereka jalani. "Kalau dari daerah, lebhih karena faktor memenuhi kebutuhan ekonomi," ujarnya.
Meski belum ada data yang pasti, kasus human trafficking di Jabar, menurutnya tergolong tinggi. "Thun ini saja, ada 20 kasus human tarfficking yang kami tangani," ujarnya.
Untuk mengurangi angka tersebut, Yayah mengajak semua pihak agar ikut berpartisipasi dalam melakukan pengawasan serta mengedukasi masyarakat terutama kaum wanita dan anak-anak agar tidak sampai menjadi korban human trafficking maupun kekerasan.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) Badan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) KBB, Nur Djulaeha, mengatakan tingginya angka kasus perdagangan manusia ini membuat Pemkab Bandung Barat merasa perlu untuk membuat tim khusus untuk menangani dan mencegahnya.
Tim gugus tugas ini, terdiri dari berbagai unsur seperti aparat penegak hukum dari kepolisian Polda Jabar dan Polres Cimahi, unsur Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung, akademisi, dinas sosial, dinas pendidikan, dinas kesehatan, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Gabungan Organisasi Wanita (GOW), tim penggerak PKK, P2TP2A, LSM, dan unsur media massa. (Tribun Jabar/zam)