Laporan wartawan Tribun Jambi, Hendri Dede Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Produktivitas kebun karet di Jambi tak berbanding lurus dengan luasannya. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Jambi menyebutkan rata-rata produksi karet berkisar 865 kilogram (kg) per hektare. Padahal idealnya, dalam luasan satu hektare menghasilkan minimal 1500 kg.
Sekretaris Gapkindo Jambi, Hatta mengatakan rendahnya produksi karet berimbas pada tidak optimalnya produksi 11 pabrik karet. Ia bilang, itu karena kapasitas terpasang lebih besar dari bahan baku karet yang tersedia.
Dia menyebutkan produksi karet Jambi per tahun sebesar 298.786 ton (karet rakyat) sedangkan kapasitas terpasang atau kemampuan pabrik memproduksi (standar industri rubber 20) di Jambi 427 ribu ton.
"Produktivitas karet masih rendah, lebih besar kapasitas terpasang. Per bulan saja produksi karet 22 ribu sampai 25 ton. Apalagi musim hujan produksi karet rakyat menurun," katanya saat ditemui Tribun di kantor Gapkindo di bilangan Talang Banjar, Rabu (11/9).
Secara rinci Hatta memaparkan luas areal karet di Jambi seluas 653.160 hektare. Rinciannya, tanaman menghasilkan (TM) 345.377 hektare, tanaman belum menghasilkan (TBM) 121 ribu hektare (yang baru di replanting), dan tanaman tua yang perlu diremajakan seluas 116.754 hektare tersebar di Kabupaten Bungo, Muaro Jambi, dan Merangin.
Dia mengatakan untuk meningkatkan produktivitas karet Gapkindo meminta pemerintah segera mengadakan replanting (peremajaan) termasuk ekstensifkasi dan meningkatkan kualitas karet petani. "Kita juga meminta pemerintah tidak memberikan izin PMA yang ekpansi di Jambi karena akan merugikan perusahaan dengan terbatasnya bahan baku. Terutama PMA yang akan masuk di Bungo," jelasnya.
Sementara untuk ekspor karet Jambi sampai Juli 2013 berdasarkan catatan Gapkindo sebesar 180.386 ton. Jumlah ini meningkat dari periode yang sama di tahun 2012. Meningkatnya ekpor karet karena kuota ekspor di tahun ini sudah tidak berlaku lagi. " Untuk target eskpor kita tidak ditentukan, tapi kalau secara nasional 3 juta ton," tuturnya.
Saat dibincangi kemarin, ia juga menyampaikan kendala yang ditemui asosiasi yang membawahi satu BUMN dan sembilan perusahaan swasta nasional dan satu PMA. Kata Hatta mereka terkendala transportasi ekspor yang sangat minim.
"Pengadaan transortasi sangat minim, armada yang masuk di Pelabuhan Talang Duku bobotnya kecil karena terhalang oleh jembatan Muara Sabak. Paling banyak 200 peti kemas sekali jalan, sedangkan peti kemas kita bisa sampai sampai 600, ini kan jadi rebutan, makanya mengalihkan ke Palembang," ujarnya.
Pengalihan pengiriman melalui Palembang itu otomatis manambah cost. Hal lainnya adalah, impor melalui Palembang itu tidak tercatat sebagai impot Jambi. (hdp)