"Betul, Pak. Pak Bupati menyesal menerima uang itu dan merasa dijebak," kata Munardi.
Keterangan Murnadi menguatkan dakwaan jaksa penuntut yang menilai uang Rp 1 miliar dari Surung Panjaitan akan digunakan sebagai dana pengurusan ke Pemprov Sumut agar dana Bantuan Daerah Bawahan yang dipakai untuk proyek pembangunan di RSUD Panyabungan itu segera cair.
Menurutnya, sejak awal tahun Bupati memang menyuruh Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar Daulay untuk menyiapkan dana "eksistensi". Istilah yang berarti berkoordinasi dengan pejabat di Pemprov untuk menyelaraskan APBD Sumut dengan APBD Madina itu disebut secara berbeda. Tim pengacara Surung menyebutnya "asistensi".
Namun dalam sidang perdananya, terdakwa Hidayat tidak menunjukkan penyesalan seperti yang dilukiskan Murnadi. Usai pembacaan dakwaan, Bupati Madina 2011-2016 ini tetap kukuh mengakui uang Rp 1 miliar yang diterimanya dari Surung dua hari sebelum ditangkap KPK adalah utang. Pengakuan ini sudah pernah disampaikannya saat menjadi saksi kasus dengan terdakwa Surung Panjaitan sepekan silam.
"Saya merasa itu pinjaman saja uang dari Khairul Anwar (Plt Kadis Pekerjaan Umum Madina) itu," katanya.
Mengenakan batik putih gading didampingi empat dari 11 anggota tim kuasa hukum yang dipimpin Refman Basri, Hidayat didakwa melanggar pasal 12 huruf (a) tentang larangan menerima gratifikasi dan pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hidayat terancam dihukum maksimal lima tahun. Dakwaan yang sama juga dikenakan kepada Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar Daulay.
Hidayat menyatakan tidak keberatan atas dakwaan jaksa penuntut dari KPK. Ia justru meminta hakim melanjutkan agenda sidang.
"Lanjut saja majelis," katanya saat ditanya ketua majelis Agus Setiawan usai pembacaan dakwaan.
Namun, jaksa penuntut umum mengaku belum menyiapkan saksi dan meminta sidang ditunda sepekan. Tim pengacara Hidayat sempat mengajukan permintaan untuk mengganti jadwal persidangan berikutnya menjadi Kamis karena beberapa anggota tim kuasa hukum berhalangan hadir pada Rabu.
Namun, majelis hakim menolak permintaan itu dan hanya menjanjikan akan mengevaluasi jadwal sidang apabila untuk ke depan tiga persidangan dengan tiga terdakwa kasus suap gratifikasi, pengusaha Surung Panjaitan, Bupati Hidayat, dan Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar tidak cukup dilaksanakan dalam satu hari.
"Anggota timnya kan ada 11. Jadi kalau ada yang nggak datang beberapa kan tidak ada," katanya.
Usai persidangan, Hidayat tidak banyak berkomentar. Ia hanya tersenyum dan masuk ke ruang tunggu diiringi beberapa pengawalnya. Namun, di ruang tunggu yang sempit itu, ia tidak dapat lagi menghindari sorotan kamera fotografer karena ruang tersebut disekat dengan kaca. Ketika masuk kembali ke ruang sidang untuk menunggui tim jaksa penuntut yang sedang meminta keterangan saksi kasus Surung Panjaitan, Hidayat pun terus diikuti oleh fotografer. Ia pun akhirnya tak ambil pusing lagi.
Setelah merokok di ruang tunggu dan mengobrol dengan rekan-rekannya, Hidayat mampir sebentar ke ruang sidang menonton bawahannya di Pemkab Madina, Murnadi Pasaribu ditanyai oleh hakim.
Lulusan STPDN itu mengaku, Maret 2013, sebelum muncul nama kontraktor seperti Leonard Sihite dan Surung Panjaitan, Bupati pernah memintanya menjembatani perusahaan BUMN, PT Nindya Karya dengan Pemprov Sumut untuk mendapatkan proyek pembangunan di RSUD Panyabungan yang bersumber dari dana BDB di APBD Sumut 2013.
"Saat itu, kami menemui Kasubbag Anggaran Biro Keuangan Setda Provsu, Pak Fuad (Perkasa). Dan, PT Nindya Karya dimintai uang Rp 500 juta-Rp 1 miliar. Namun, karena proyek itu harus itu dibagi dalam tiga paket pekerjaan dan nilai satuannya tidak mencapai Rp 25 miliar, PT Nindya Karya menyatakan mundur. Sementara, PT Nindya Karya sesuai ketentuan hanya bisa mengerjakan proyek bernilai Rp 25 miliar ke atas. Selain itu Nindya Karya juga tidak bisa menyanggupi permintaan Rp 500 juta-Rp 1 miliar itu," bebernya.