Laporan Wartawan Tribun Jogja Bakti Buwono Budiasto
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Kasur di dalam ruang UGD Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi, menjadi tempat pembaringan terakhir Andika Umar Faruk (13) pada Sabtu (5/10/2013) malam lalu.
Rencana operasi penyakit amandel pada Jumat (4/10/2013) mendadak berubah menjadi bencana. Bukannya sembuh, Umar justru meninggal.
"Bilangnya apa gitu, semacam alergi anastesi (obat bius). Saat di UGD parah, tubuh anak saya dipasangi banyak, pakai alat bantu pernapasan, nafasnya sengal-sengal," kisah ayah dari Umar, Muhammad Ikhwan saat ditemui di gedung pers Jalan Pandanaran, Rabu (9/10/2013).
Ia menuding, pihak RSUP dr Kariadi melewatkaan beberapa prosedur untuk operasi. Sehaarusnya, sebelum operasi, anaknya sudah dites alergi. Kalaupun alergi bisa segera ditangani pihak rumah sakit dari hasil tes alergi tersebut.
Guru matematika SMAN 3 Semarang itu, lalu bercerita awal mula dugaan mal praktik itu. Sejak SD hingga sekolah di SMP Hidayatullah, Umar sempat sakit-sakitan. Paling tidak, sekali dalam dua bulan, anaknya tidak masuk sekolah selama dua hari karena panas.
"Awalnya saya kira tipes, terus pada Kamis (26/9/2013) saya periksakan ke dokter THT di daerah Mrican. Katanya amandel dan perlu dioperasi," ucap ayah dua anak itu.
Sembari memperlihatkan foto anak bungsunya, Ikhwan melanjutkan ceritanya. Saat diperiksa, ia ditawari untuk operasi di tempat praktik dokter tersebut (bius lokal) atau di RSUP dr Kariadi (bius total). Dokter THT kala itu menyarankan ke rumah sakit.
Lalu, selang seminggu kemudian, Kamis (3/10/2013), ia menjemput anaknya dari sekolah untuk mulai mondok di RSUP dr Kariadi. Saat itu anaknya masih sehat. Bahkan sempat tanya, kenapa operasinya tidak menunggu libur? Apakah operasi itu sakit atau tidak?
Setelah diyakinkan, akhirnya Umar bersedia menjalani operasi amandel. Sore itu juga, Umar mulai mondok dan darahnya diambil untuk sampel laboratorium. Pada malam hari, istrinya Nurul Afitah yang menemani anaknya, diberitahu bahwa jadwal operasi pada Jumat (4/10/2013) pukul 10.00 wib.
"Ternyata jadwal operasi maju pukul 07.00. Yang buat saya terharu, sebelum operasi anak saya (Umar) minta salat lebih dulu. Infusnya dipegang ibunya, lalu ia salat dua rakaat," kisah Ikhwan yang merupakan warga Jalan Sendang Pentul RT 6/RW 2, Nomor 3, Tinjomoyo, Banyumanik itu.
Anaknya, langsung dibimbing masuk ke ruang bedah. Sekitar pukul 08.30, tiba-tiba ada perwakilan dokter keluar yang mengabarkan bahwa operasi dibatalkan karena kaget oleh obat bius.
Lalu, 15 menit kemudian ditanya soal alergi yang sepengetahuannya, anaknya tidak pernah alergi obat. Kemudian, 15 menit kemudian anaknya pindah ke ruang ICU.
Di sana, ia menyaksikan anaknya penuh selang untuk bertahan hidup. Waktu itu ia diperlihatkan bahwa anaknya mengalami alergi dengan alat pendeteksi alergi. Yang membuatnya heran, kenapa tidak dicek sebelum operasi.
"Saya sempat marah waktu itu. Saya bilang, saya ke sana (Kariadi) cuma untuk setor nyawa. Kondisi anak saya saat masuk 100 persen, keluar jadi 0 persen. Di mana jaaminan keselamatan pasien di rsup Kariadi?" tanyanya.
Keadaan kritis itu berlangsung hingga Sabtu (5/10/2013). Jelang petang, kondisi anaknya tidak stabil. Bahkan, ia melihat sendiri tenaga medis berusaha memacu jantungnya. Memukul-mukul dada anaknya. Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.45, anak bungsunya dinyatakan meninggal.
Saat itu pihak Kariadi berjanji akan bertanggung jawab. Namun sampai Selasa (8/10/2013), belum jelas apa bentuk pertanggungjawaban mereka.
"Saya minta pihak Kariadi bertanggung jawab. Sampai sekarang belum ada pertanggungjawabaannya," tuntutnya.