TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Seni jalanan (street art) dalam bentuk karya mural, dibawa ke pengadilan. Bahkan senimannya, Muhammad Arif Buana (17), divonis hukuman 7 hari dengan masa percobaan 14 hari.
Selain itu, Arif juga diharuskan membayar denda Rp 1000 pada persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis (10/10/2013).
Namun, langkah cepat Dinas Ketertiban (Dintib) Kota Yogya yang membawa Arif ke meja hijau, dikritik tajam oleh anggota DPRD Kota Yogya. Dintib dinilai tebang pilih, karena sikap yang diambilnya terhadap Arif jauh berbeda dengan yang ditunjukkannya pada pelanggar perda tentang tower seluler, minimarket dan reklame.
Sementara Koordinator Indonesia Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu mengatakan, dalam pertimbangannya untuk memvonis Arif, hakim menyatakan bahwa perbuatan Arif merugikan pemilik tembok.
Namun, dalam persidangan kemarin, pemilik tembok yang dmural oleh Arif tidak dihadirkan. Itu bisa diartikan, kata Tri Wahyu, hakim sudah mengambil kesimpulan tanpa bukti yang kuat.
"Padahal, selama ini tembok di Pojok Beteng Wetan itu juga sudah dipakai untuk mural," kata Tri Wahyu.
Dalam sidang tindak pidana ringan (tipiring) di PN Yogya kemarin, hakim Susanto Isnu Wahjudi menyatakan bahwa Arif yang tepergok Satpol PP sedang menebalkan tulisan "Jogja Ora Didol" melanggar Pasal 1 Ayat 1 angka 29 Perda Pemerintah Kota Yogyakarta No 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketentuan Pidana juncto Pasal 16 huruf c Perda Kota Yogyakarta No 18 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Kebersihan.
Tulisan Jogja Ora Didol pada sebuah tembok di kawasan Pojok Beteng Wetan itu, sebetulnya sudah ada sejak Minggu (6/10/2013) malam. Namun, tulisan yang merupakan bagian dari kegiatan Festival Mencari Hariyadi itu lenyap berganti cat warna hitam pada Senin (7/10/2013) pagi.
Pada Senin malam, tulisan Jogja Ora Didol kembali terlihat. Tatkala melintas di Pojok Beteng Wetan pada Senin larut malam, Arif melihat tulisan Jogja Ora Didol dengan cat warna kuning itu kurang tebal. Pemuda yang banyak membuat karya mural di kawasan Kotagede itu pun lantas menebalkannya agar masyarakat dapat melihat pesan tersebut.
Saat sedang menebalkan tulisan itu, ia tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan petugas Satpol PP Kota Yogya yang memintanya turun dari bagian tembok. Menurut Arif, petugas mengancamnya kalau tidak turun dari tempatnya berada.
Ia mendengar ada yang mengatakan: "kowe nek ora medhun tak bedil ndasmu" (kamu kalau tidak turun saya tembak kepalamu), sembari tampak seperti memegang sebuah benda mirip pistol yang ditempatkan di pinggang sebelah kiri.
Dua rekan yang bersama Arif, yaitu Wiwid Kristiawan dan Koko, langsung kabur menggunakan sepeda motor begitu mengetahui ada Satpol PP. Arif dan rekannya yang lain, yakni Adnan (14), segera turun karena teriakan petugas Satpol. Mereka berdua lantas dibawa ke Balai Kota Yogyakarta untuk diproses dan dimintai keterangan.
"Saya dimintai keterangan pada Selasa dinihari dari pukul 02.00 WIB sampai 05.00 WIB dan sampai menginap. Baru diperbolehkan pulang sore pukul 15.00 WIB," kata Arif sebelum menjalani persidangan di PN Yogyakarta, Kamis (10/10/2013).
Yang tertulis di Pojok Beteng Wetan itu, menurut Arif, adalah pesan singkat dari seorang rakyat Kota Yogyakarta yang ingin agar lahan-lahan di Kota Yogya tidak gampang diobral untuk kepentingan bisnis berupa pembangunan gedung-gedung baru.
Arif yang tinggal di Depokan Kotagede Kota Yogya ini menyebut kawasan barat Malioboro yang sudah padat dengan hotel-hotel.
"Menjadi penting bahwa Jogja tetap berhati nyaman. Saya ambil hikmahnya saja, ke depan saya tetap akan menggambar mural," tandasnya. (ptt/hdy)