Laporan Wartawan Tribun Jogja, Theresia Andayani
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Resepsi pernikahan GKR Hayu dengan KPH Notonegoro terasa sakral dan mewah. Kedua mempelai duduk di pelaminan yang sudah dihias dengan ribuan bunga-bunga cantik, Rabu (23/10/2013).
Para tamu undangan sudah mulai berdatangan sejak pukul 10.00 pagi, dan tepat pada jam 11, tamu disuguhkan berupa tarian Bedhaya Manten sekitar 20 menit.
Tarian adat Keraton Yogya yang dimulai dengan doa lalu dilanjutkan dengan Tarian Bedhaya Manten dan kemudian Tarian Lawung Ageng. Tarian Bedhaya Manten dibawakan oleh enam penari yang merupakan simbol dari perjalanan seseorang menuju gerbang rumah tangga. Tari Bedoyo Manten ditarikan oleh enam wanita yang masih perawan.
"Dua wanita berperan sebagai sepasang pengantin sementara empat penari lainnya memerankan diri sebagai penari Srimpi," ujar KRT Yudahadiningrat, Koordinator Keraton Wedding, Rabu (23/10/2013).
Tarian ini diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono IX yang menunjukkan kesiapan dan kemandirian untuk membangun kehidupan ke depannya.
Tarian Lawung Ageng dibawakan 12 penari pria dan menunjukkan jiwa pratiotisme yang tertanam dalam sanubari. Tarian ini juga merupakan simbolisasi para prajurit Keraton yang sedang berlatih perang. Sebelumnya, kedua belas penari ini berangkat menuju Kepatihan dengan mengendarai kuda. Tarian ini merupakan karya Sultan Hamengku Buwono I yang memiliki makna penyatuan lingga-yoni sebagai lambang kesuburan. Tarian ini juga akan menampilkan gerakan latihan perang-perangan atau adu ketangkasan.
"Alat ketangkasan yang dipergunakan adalah lawung, yaitu tongkat panjang berukuran tiga meter, berujung tumpul, dan digerakkan dengan cara menyilang dan menyodok," ujarnya.
Acara resepsi berlangsung dengan pakem adat Keraton Yogyakarta dengan nuansa tosca-lavender. Diperkirakan akan ada 2.500 undangan yang turut hadir meramaikan acara ini.