"Remaja yang tidak perawan rentan terhadap konflik, frustrasi, dan kadang sering galau kalau istilah kerennya, tidak harmonis dengan keluarga, teman, itu akan dialami. Ini sangat mengganggu dalam hal mereka mengejar cita-cita ke depan," ujar Piri.
Ia menyarankan agar sekolah memberikan aturan tegas, misalnya, siswa yang belum memiliki SIM tidak diperkenankan membawa kendaraan mobil dan motor agar kecemburuan sosial dan ekonomi bagi siswa ekonomi sedang dan lemah, tidak renggang.
"Harus diakui, ini berpengaruh terhadap beberapa siswa, rasa kalau lihat teman punya BB (BlackBerry), maka dia ingin pula memiliki dan seterusnya," tambahnya.
Pihak sekolah, kepolisian, pemerintah pusat dan daerah, para orangtua harus serius menyikapi hal ini dan mendudukkan persoalan tersebut dalam satu meja bahwa ada beberapa catatan yang harus disepakati bersama.
Masih menurut Piri, ada satu cerita di salah satu daerah banyak anak yang mabuk dengan menghirup lem Aibon. Lem tersebut dijual bebas di pasaran, lalu dibuatlah aturan agar penjual dilarang menjual lem tersebut kepada anak di bawah usia 17 tahun. Artinya, harus ada aturan yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan lem bagi para remaja agar tidak disalahgunakan untuk mabuk.
"Hal ini sama dengan larangan anak-anak mengendarai mobil dan motor jika tidak memiliki SIM sesuai aturan UU. Hal yang sama juga dalam rangka mencegah tindakan kenakalan remaja yang lain, termasuk hubungan bebas," ujar Piri.