Laporan Wartawan Tribun Manado, Fransiska Noel
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Gubernur di tiap provinsi sebaiknya dipilih langsung oleh wali kota dan bupati di wilayah provinsi bersangkutan. Usulan itu untuk efisiensi biaya pemilihan umum dan meminimkan konflik yang mungkin tercipta.
Pandangan itu merupakan sikap Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang menggelar rapat kerja nasional kedua di Hotel Sintesa Peninsula Manado, Sabtu (11/1/2014).
Usulan itu ikut disisipkan dalam tanggapan kepala daerah bupati dan wali kota se-Indonesia terhadap RUU Pilkada yang tengah digodok DPR RI ini. Poin penting dalam usulan itu adalah bagaimana pemilihan umum kepala daerah di Indonesia bisa berjalan lebih efektif dan efisien.
"Secara bersama bupati dan wali kota yang hadir dalam Rakornas Apkasi dan Apeksi II ini menegaskan menolak jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, dan tetap mendukung pemilihan langsung oleh rakyat. Wali kota dan bupati dipilih langsung rakyat. Di tingkatan selanjutnya, untuk pemilihan gubernur, wali kota dan bupatilah yang memilih langsung, dengan demikian akan mengurangi biaya pemilu," tutur Bupati Batubara Oka Arya Zulkarnaen di sela rakornas.
Usulan yang sama dinilai Zulkarnaen bisa diterapkan untuk pemilihan anggota dewan. "Rakyat memilih langsung anggota DPRD kabupaten kota, anggota DPRD kabupaten kota memilih anggota DPRD provinsi. Demikian pula di tingkatan lebih atas, anggota DPRD provinsi se- Indonesia bisa memilih anggota DPR RI. Dengan demikian biaya pemilu bisa diminimkan," tuturnya.
Usulan ini dipastikan telah dimasukkan sebagai bahan pertimbangan untuk DPR RI merampungkan RUU Pilkada yang hingga saat ini masih digodok.
Rakornas Apkasi-Apeksi tersebut dihadiri ratusan kepala daerah se-Indonesia. Rakornas mengangkat tema "Potensi permasalahan hukum yang dihadapi kepala daerah serta pencegahannya" dan "Pernyataan sikap terhadap RUU Pilkada.
Tampak hadir Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua Apeksi GS Vicky Lumentut sekaligus Wali Kota Manado, Dewan Penasihat Apkasi Siti Nurbaya Bakar, dan para pembicara.
Beberapa hal yang hendak dicapai, pertama, kepala daerah dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan diskresi, faktor-faktor yang mendukung terjadinya diskresi, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengambilan keputusan dalam bentuk diskresi.
Kedua, kepala daerah memahami risiko hukum atas tindakan diskresi yang dilakukan baik dalam pengambilan kebijakan dan dalam penggunaan APBD. Ketiga, kepala daerah dapat menyatukan suara dan tentukan sikap terhadap RUU Pilkada untuk kemudian akan disampaikan ke Presiden dan DPR RI.
Ketua Apkasi Irsan Noor menuturkan, rakornas tersebut bukan semata-mata kegiatan tanpa makna. Kegiatan itu merupakan wadah untuk menganalisa masalah apa saja yang membuat sejumlah kepala daerah tersandung masalah hukum belakangan ini.
"Melalui kegiatan ini kami ingin kembali memperbaiki harga diri dan citra diri banyak kepala daerah yang belakangan ini banyak tersandung masalah hukum," tuturnya saat pembukaan Rakornas.
Bupati Kutai Timur ini mengaku prihatin, sesuai data di Kemendagri dari total 546 kepala daerah se-Indonesia, sebanyak 311 di antaranya tersandung kasus korupsi.
"Kalau begini modelnya, dampaknya bukan hanya menghantam pemerintahan tetapi juga ikut berdampak pada rakyat. Siapa yang dipersalahkan? Menurut saya kita semua ikut bersalah," ungkap Noor.
Dirinya mengaku sedih dengan banyaknya kepala daerah tersandung kasus korupsi. "Kita tentu tidak ingin era pemerintahan Presiden SBY dikenang sebagai era rezim koruptor hanya karena banyak kepala daerah jadi koruptor," tuturnya.
Dalam momentum rakornas itu, Noor berharap hal-hal seperti ini bisa diangkat untuk dibahas, dianalisa, untuk dibentuk formula terbaik apa yag harus dilakukan wali kota dan bupati memperbaiki harga diri dan citra dirinya kembali baik di hadapan rakyat.
"Perbaikan ini tentu harus dimulai dari bawah. Rakyat saat ini image-nya ketika dengar pemerintahan dan kepala daerah selalu negatif, selalu berpikir kalau pemerintah itu identik dengan koruptor. Inilah yang harus kita benahi dan perbaiki," katanya.
Membahas proses hukum terhadap kepala daerah, Ketua DPR RI Marzuki Alie menegaskan pejabat publik jangan dijadikan mesin ATM. Ia sendiri mengaku prihatin, karena masalah proyek selalu menjadi alasan terbesar terjeratnya kepala daerah dalam tuduhan kasus korupsi.
"Yang terjadi selama ini, masalah proyek di sejumlah daerah yang realisasinya tidak sesuai spesifikasi, tidak selesai tepat waktu, akhirnya digiring dalam ranah kasus pidana yang menjerat kepala daerah dalam dugaan kasus korupsi. Padahal, menurut saya, hal ini seharusnya masuk dalam ranah kasus perdata," tuturnya.
Alasan-alasan seperti inilah yang dinilai Marzuki dijadikan celah bagi penyidik Kepolisian dan Kejaksaan untuk menetapkan status seorang kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi.
"Maaf sebelumnya, entahkah motivasinya benar atau politis, akhirnya seringkali penyidik seenaknya menetapkan status tersangka tanpa didukung fakta yang benar, bahkan tak sedikit yang membuat pejabat publik jadi mesin ATM," tegasnya.
Marzuki menilai, sejumlah kasus yang ditemui dalam penetapan status tersangka kepada kepala daerah baik oleh penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan sarat muatan politis.
"Seperti di beberapa daerah saya temui, penyidik seenaknya tetapkan status tersangka kemudian mendiamkan sekian lama. Yang penting sudah tersangka, akhirnya yang bersangkutan diberhentikan dari status jabatannya, kemudian didiamkan begitu saja. Sangat sarat muatan poltis," ujar dia.
Menurut Marzuki, hal itu harus dijadikan rekomendasi dalam pembahasan Rakornas Apkasi dan Apeksi II di Manado.
"Pertemuan kita ini harus bisa menghasilkan formula penting untuk menyikapi masalah-masalah yang melibatkan kepala daerah dalam sejumlah kasus hukum," tuturnya.
Bahkan, Marzuki tak segan memberi masukan untuk perlu adanya sanksi tegas bagi penyidik, entah Kepolisian maupun Kejaksaan, yang seenaknya menetapkan status tersangka ke kepala daerah tanpa didukung fakta yang benar dan cukup.
"Bila perlu terapkan sanksi bagi polisi dan jaksa yang seenaknya tetapkan status tersangka tanpa didukung fakta yang benar dan cukup," katanya.