Laporan Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, PANGKEP - Ibu-ibu rumahtangga bisanya cuma buang-buang waktu dengan ngerumpi atau ngobrol sana-sini sembari bergosip?
Asumsi buruk soal kebiasaan buruk ibu-ibu itu memang pernah terjadi di kampung Kalukue, Desa Tamangapa, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (Sulsel). Tapi itu dulu!
Kini, setelah diperlihatkan betapa banyak potensi sumber daya laut yang bisa disulap menjadi produk pangan produktif, barulah kaum Hawa di kawasan ini jadi sibuk! Tak ada lagi waktu bergosip.
Mereka kini sadar, terlalu sayang membuang waktu cuma dengan ngerumpi, padahal kampung mereka menyimpan potensi untuk menjadi pusat home industri produk pangan berbahan rumput laut.
Apalagi rumput laut mudah dibudidayakan di desa yang memang berada di kawasan pesisir pantai di Sulsel itu. Kelompok Berkah, adalah contoh kelompok ibu-ibu di desa ini yang aktif membina ibu-ibu anggotanya untuk terus berlatih menyulap bahan-bahan laut menjadi produk pangan yang layak dijual.
"Sekarang tak ada waktu ngerumpi. Maunya ibu-ibu di sini sibuk bikin cemilan macam-macam dari bahan rumput laut. Apa aja asal bisa jadi duit, " kata Suriani, Wakil Ketua 'Geng Ibu-ibu' pembuat aneka cemilan rumput laut yang tergabung dalam Kelompok Berkah.
Aneka penyuluhan untuk memberdayakan kaum ibu pelan-pelan membuahkan hasil. Kini kampung ini menjadi salah satu pusat home industri (usaha rumahan). Produk andalannya adalah Snack Kacang Rumput Laut.
Produk cemilan lainnya yang berbahan rumput laut adalah nugget, bakso, sirup, manisan, gula-gula, dodol dan keripik. Tak melulu cemilan berbahan rumput laut, ada juga snack berbahan sayuran organik dan bakso ikan.
Dari sederet produk cemilan itu, Snack Kacang Rumput Laut (SKCL) jadi produk primadona karena paling laku di pasaran.
"Penjualannya sampai ke Papua, Balikpapan, Pare Pare, dan tentu saja kota Makassar," tutur Suriani. Suriani bertutur, dari penjualan aneka cemilan tersebut, omzet yang didapat sekitar Rp 4 juta sebulan. Memang nilai omzetnya belum fantastis.
Tapi itikad memberdayakan kaum ibu dari yang semula cuma nongkrong dan mengobrol menjadi produktif layak jadi inspirasi. "Paling tidak, ibu-ibu tak harus selalu 'nodong' pada suami untuk urusan belanja dapur," tutur Ibu Saddi.
Sekolah Lapangan
Kebun Organik karya kaum wanita di Desa Tamangapa, Pangkep.
Upaya memberdayakan kaum ibu rupanya juga dilakukan di kampung berbeda di kecamatan dan kabupaten yang sama. Tepatnya di Dusun Kasuarang, Desa Tamangapa, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulsel.
Di dusun ini, kaum wanita malah disekolahkan secara khusus dalam pendidikan 'Sekolah Lapangan.' Di sini, mereka dididik segala macam ketrampilan yang secara produktif bisa menghasilkan uang dengan titik fokus bercocok tanam secara organik.
Nyonya Nurjaya, Ketua Kelompok Talaswati (kelompok yang membina kaum wanita), menuturkan, pendidikan yang diberikan antara lain bertanam aneka macam sayuran secara organik.
Antara lain menanam kangkung, sawi, bayam, cabe, mengolah tanah tandus atau gersang menjadi subur.
"Kalau dulu asal tanam saja. Sekarang, setelah diberi pengetahuan cocok tanam organik, hasilnya jadi banyak. Nggak perlu belanja ke pasar lagi. Cukup dari kebun," kata Nurjaya.
Sementara Nurhaidah, pengurus kelompok Talaswati lainnya, bertutur bahwa kegiatan Sekolah Lapang juga berhasil mengubah kaum wanita ini dari semula tertutup alias introvert, menjadi pribadi-pribadi yang bisa tampil dan berbicara di depan banyak orang.
"Dulu ibu-ibu cuma mengurus dapur, dan tak pernah keluar rumah. Bicara di depan banyak orang malu-malu. Tak percaya diri. Sekarang pelan-pelan ibu-ibu di sini mulai pintar mengemukakan keinginan, ide, keluhan dan segala unek-unek," tutur Nurhaidah.
Saat Tribunnews.com menyambangi pertemuan bulanan kelompok ini pada Kamis (6/2/2014), kaum ibu di kampung ini memang tampak aktif berbicara. Ada yang ceriwis mengemukakan pendapat, ada yang menyela, ada yang menukas dan sebagian lain melontarkan masukan-masukan demi kemajuan kegiatan produktif mereka.
"Dulu sebelum ada Sekolah Lapang, ibu-ibu nggak seperti sekarang. Susah mengemukakan pendapat, apalagi keberanian mengambil keputusan sendiri," tutur Suruga, bendahara kelompok ini.
Kebodohan yang Membahayakan
Kaum wanita Desa Tamangapa, semula jago ngerumpi, kini jago bertani secara organik.
Adalah Oxfam (organisasi kemanusiaan dan bantuan asal Inggris) yang menggelar Sekolah Lapangan untuk kaum wanita, khususnya ibu rumahtangga di kawasan pesisir Sulawesi Selatan (Sulsel).
Melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) alias Restorasi Penghidupan Masyarakat Pesisir, kaum wanita dientaskan dari kebodohan, ketertutupan dan ketidakberdayaan dalam mengambil keputusan menyangkut kepentingan mereka.
Boedi Sardjana Julianto, Project Manager RCL di kawasan ini menuturkan, ada empat kabupaten di daerah pesisir Sulsel yang kaum wanitanya harus segera dientaskan dari keterbelakangan pendidikan.
Yakni Kabupaten Pangkep, Takalar, Maros dan Barru. "Kaum wanita di daerah seperti ini memang perlu harus diberi ketrampilan berbicara dan berani mengambil keputusan. Kalau tidak, nasib mereka diputuskan orang luar," tutur Boedi.
Boedi bertutur, Kemiskinan dan ketertinggalan memang sudah menjadi citra yang melekat kuat pada diri masyarakat pesisir. Hal ini dapat terlihat dari kondisi kehidupan masyarakat pesisir yang jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat yang bermukim di wilayah desa daratan atau perkotaan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya minimnya ketersediaan informasi dan teknologi, dalam mengelola smber daya alam, akses transportasi yang jauh, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan, adat budaya, kepercayaan, kuatnya pandangan-pandangan terhadap mitos-mitos tertentu dan kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada pembangunan pesisir.
Padahal faktanya Indonesia adalah negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya terletak di pesisir pantai.
Dengan demikian jumlah rakyat Indonesia yang hidup di wilayah pesisir pantai jauh lebih besar dibanding dengan yang menetap di wilayah darat dan perkotaan.
"Sungguh ronis ketika kebijakan pemerintah sangat tidak berpihak pada masyarakat pesisir. Berangkat dari permasalah di atas, maka sudah sepantasnyalah kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas masyarakat dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin lebih difokuskan di wilayah pesisir," tutur Boedi.
Karena itu, hal utama yang penting segera dilakukan adalah peningkatan pikiran kritis dan kapasitas masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap intervensi pihak luar dan penguatan kapasitas masyarakat pesisir terhadap penentuan kebijakan pemerintah.
"Dengan memiliki pikiran kritis dan cerdas, masyarakat dapat mengambil keputusan sendiri dan tidak tergantung terhadap intervensi pihak luar terkait bagaimana melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam secara berkelanjutan dan menguntungkan mereka, mereka juga dapat mencari solusi sendiri terhadap permasalahan yang mereka hadapi tanpa harus menunggu solusi dari pihak luar," tutur Boedi.
Karena itu, Sekolah Lapang pesisir dijadikan media pembelajaran yang tepat karena memposisikan masyarakat sebagai subjek dalam aktivitas.
Prinsip yang digunakan oleh sekolah lapang yaitu pendidikan orang dewasa (POD) dimana semua orang memiliki posisi yang sama dan tidak ada saling menggurui.
Menurut Soni Kusnito, staf Lapangan dari Oxfam, dalam Sekolah Lapang, studi-studi ilmiah dikemas secara sederhana, disesuaikan dengan kondisi tingkat intelektualitas para ibu.
"Rata-rata ibu rumahtangga di sini cuma lulusan SD. Sekolah Lapang mendidik mereka mengejar ketertinggalan mereka dalam hal pengetahuan umum, kepandaian berbicara, dan ketrampilan rumahan yang bisa menghasilkan sesuatu yang produtif," tutur Soni.
Lantas seberapa besar Sekolah Lapang sudah memberi manfaat?
"Alhamdulillah, ya? Ibu-ibu binaan Sekolah Lapang sekarang makin pintar ngomong, mengemukakan pendapat. Mereka jadi paham pentingnya pertanian organik dan bahayanya pestisida. Lebih percaya diri, tidak terlalu tergantung pada suami dalam hal keuangan. Macam-macamlah," kata Kartini, Ketua Kelompok Annisa, 'geng ibu-ibu di Desa Lasitae, Tanete Rilau, Kabupaten Barru, yang juga mendapatkan pelatihan Sekolah Lapang.